Saya adalah perantau di kota besar, jauh dari keluarga dan tidak punya banyak teman. Sehari-hari, saya habiskan waktu saya di kamar kos untuk mengerjakan skripsi, pekerjaan, atau sekadar scrolling sosial media hingga tertidur. Ketakutan terbesar saya di perantauan adalah rasa kesepian.
Jika saya merasa bosan dan kesepian, saya biasanya pergi ke perpustakaan kampus untuk mengerjakan skripsi atau sekadar membaca. Meskipun disana juga tak banyak suara, hanya hening, dan suara ketikan laptop pengunjung lain, saya tidak merasa kesepian seperti di kamar. Sedangkan kalau saya malas keluar, saya hanya menghabiskan waktu di kamar melihat film, scrolling instagram, dan kegiatan tidak bermanfaat lainya di kamar.
Kalau saya pulang kampung, banyak sekali kegiatan yang menyenangkan, meskipun hanya mengobrol dengan Mamak atau tetangga, mengajak ponakan bermain, atau membantu pekerjaan rumah, seperti menanam kacang dan singkong, mencabut rumbut, mencari sayuran di kebun. Momen pulang kampung selalu menjadi hiburan di masa liburan saya.
Ketika masanya pulang ke perantauan, hati saya selalu gusar di perjalanan, tidak ingin rasanya kembali merasa kesepian dan bosan di kamar kos. Lalu saya pasti menangis di hari pertama kembali di kota perantauan. Saya sungguh sangat takut sendirian, kesepian, kebosanan. Sebelum akhirnya saya melihat sebuah video di Youtube yang berbicara soal konsumsi sosial media dan pengaruhnya kepada otak manusia. Video itu menampar saya berkali-kali karena yang dibicarakan sangat mirip dengan apa yang saya alami.
Video itu mengatakan bahwa manusia sekarang tidak terbiasa merasa kesepian. Jika terdapat rasa sepi atau bosan, maka mereka akan lari ke handphone dan mencari hiburan di media sosial, mencari kesenangan instan yang ternyata dapat merusak kemampuan otak untuk fokus.
Pertama, saya adalah orang yang jika merasa kesepian di kamar dan enggan pergi keluar, pasti saya lari ke Instagram, Tik-tok, atau Youtube short untuk melihat video-video pendek yang dapat mengundang kesenangan dan tawa. Kedua, setiap kali saya mencoba menulis skripsi atau membaca buku di perpustakaan, saya sangat sulit merasa fokus. Bahkan ketika mendapat satu paragraf tulisan, tangan saya otomatis meraih ponsel, membuka Instagram, mencari tayangan yang menyenangkan. Begitulah siklusnya hingga saya merasa lelah.
Video itu juga memberi saya tamparan yang mengatakan bahwa sebenarnya kesendirian adalah waktu emas untuk dihabiskan sendiri bersama pikiran. Seperti yang dilakukan orang zaman dahulu, penemu-penemu konsep hebat, seperti Albert Einstein. Einstein pastinya menghabiskan waktu luangnya bersama pikiranya, bukan bersama video di Tik-toknya. Begitu juga JK Rowling, sang penulis dari novel legendaris, Harry Potter. Ternyata, ide dari lahirnya cerita Harry Potter didapatkanya saat ia berada di perjalanan kereta selama 4 jam. Coba kalau di zaman itu JK Rowling memilih menghabiskan waktu 4 jam itu dengan scrolling Instagram atau Tik-tok, maka bisa jadi kita tidak pernah mengenal Harry Potter hingga sekarang.
Setelah menonton video itu, sedikit banyak saya merasa lebih baik. Saya tetap merasa sendiri, kesepian, dan bosan. Tetapi saya tidak lagi memandang kesepian sebagai hal yang menakutkan. Tulisan ini buktinya. Saya tidak akan menulis ini jika saya masih takut dengan rasa bosan dan kesepian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H