Lihat ke Halaman Asli

Masihkah Kelasmu Bergaya Bank?

Diperbarui: 30 Desember 2015   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya pendidikan pesantren, sekolah formal, dan universitas dalam beberapa hal bisa tidak ada bedanya. Dua lembaga ini tidak sedikit kita dengar agak ‘kres’. Pernah penulis jumpai Kakang santri salafiyyah memiliki perspektif yang agak miring dengan universitas. Ketika kelasnya, penulis ditegur karena menggunakan jas yang identik dengan almamater kampus. Makhluk kampus itu miskin spiritual, keduniawian, dan sebagainya. Pernyataan seperti itu bukanlah sesuatu yang langka.

Sedang beberapa makhuk kampus memandang manusia pesantren itu kolot. Mereka terus mengkonsumsi kitab klasik dan minim pembaharuan, tidak berpikiran terbuka, dan sebagainya. Sementara sekolah formal cenderung pasif dalam ‘kres’ atau tidaknya. Biasanya pertentangan muncul setelah masing-masing pihak memiliki cara berpikir yang lebih terbuka dan mendalam.

Namun, pada beberapa levelnya, metode pedidikan yang mereka gunakan tidak berbeda. Dari pengamatan penulis yang turut mengalaminya sendiri, banyak ditemukan kelas yang masih menggunakan “gaya bank”.

Seperti yang ditulis ReaD (Research, Education, and Dialogue) dalam pengantarnya pada buku Paulo Freire, Politik Pendidikan (Read: 2007) bahwa, sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah gaya “bank” (banking concept education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak mendatangkan hasil dengan lipat ganda.

Anak didik diperlakukan sebagai wadah kosong yang kemudian diisi oleh guru untuk dipetik hasilnya nanti, entah oleh mereka atau sistem raksasa yang membawahi lembaga tersebut. Jadi guru adalah subyek pendidikan yang aktif, sedang siswa merupakan obyek pendidikan dan bersifat pasif. Pendidikan menjadi semacam fenomena pencekokan (penjejalan secara paksa), dimana siswa harus mengingat informasi yang diberi dan menghafalkannya.

Menurut ReaD, secara sederhana Freire menyusun pola pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:

  1. Guru mengajar, murid belajar
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan
  4. Guru bicara, murid mendengarkan
  5. Guru mengatur, murid diatur
  6. Guru mmemilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
  7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
  8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
  9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkanya dengann kebebasan murid
  10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya

Metode pendidikan yang demikian ini menjadikan guru sebagai pusat dari segalanya, sehingga, sudah menjadi suatu keniscayaan kalau para murid menjadikan guru mereka sebagai sosok manusia ideal yang mereka tiru mulai dari sikap sampai pemikirannya. Para murid akan menghukumi suatu permasalahan seperti bagaimana guru mereka. Walhasil, pada saatnya mereka hanya menjadi duplikasi dari guru-guru mereka, namun bukan diri sendiri.

Banyak yang masih kurang menyadari bahwa metode pendidikan semacam itu membuat murid merasa terasing dari realitasnya sendiri. Karena metode tersebut sangat kurang mengenalkan murid dengan realitas diri mereka dan realitas dunianya, sementara pikirannya kenyang dengan teor-teori yang membuat mereka menjadi seperti, yang berarti orang lain, bukan diri mereka sendiri. Padahal, salah satu dari tujuan lembaga pendidikan adalah penyadaran.

Belum lama ini memang telah diterapkan kurikulum 2013 pada beberapa sekolah, di mana murid lah yang dikonsep menjadi subyek pendidikan. Sedang di universitas, kelas dibuat dialogis; mahasiswa-dosen dan mahasiswa-mahasiswa.Namun ada tidaknya iklim dialogis sangat tergantung pada dosen dan mahasiswa itu sendiri. Sementara itu, di pondok pesantren meskipun ketika mengaji tidak begitu dialogis, namun mereka memiliki jadwal diskusi. Pada jam tersebut mereka memperbincangkan suatu maslah, memecahkannya dengan bermusyawaroh, dengan sangat dialogis, bahkan perdebatan merupakan hal yang mengasyikkan saat itu.

Urgent Tapi Sering Absen

Hal yang sering luput dari metode-metode pendidikan kini—meskipun sudah dialogis—adalah kurangnya bimbingan yang mengenalkan murid dengan realitas diri mereka dan realitas dunia yang mereka tinggali kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline