Lihat ke Halaman Asli

Gin

Pembaca paper akhir pekan

The Best of DragonForce: Era ZP atau Marc?

Diperbarui: 5 Juli 2017   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kalau ada perdebatan tanpa akhir yang sama tak ada habisnya dengan: Wayne Rooney itu sebenarnya striker atau midfielder?, sudah barang tentu itu adalah perdebatan yang membandingkan dua vokalis sebuah band, dalam hal ini vokalis lama dan suksesor-nya, si vokalis baru. Sebut saja Michael Kiske dan Andi Deris di Helloween, Andre Matos dan Edu Falaschi di Angra, atau dari dalam negeri, Ari Lasso dan Once Mekel di Dewa 19.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pergantian vokalis adalah salah satu titik krusial yang kerap dilalui sebuah band. Dampaknya tentu bisa pada dua kemungkinan: lebih sukses, atau justru sebaliknya, kesalahan berbuah petaka! Kalkulasinya mudah saja, yakni ada pada sejauh mana (era) si vokalis baru sanggup mempertahankan fans lama dan menjaring fans baru.

Seperti diketahui sekitar dua minggu yang lalu atau tepatnya 31 Maret 2017, band power/extreme/speed metal asal Inggris DragonForce merilis sebuah single berjudul Judgement Day yang kelak akan menjadi bagian dalam album terbaru mereka, Reaching Into Infinity. Seminggu yang lalu, single kedua berjudul Curse of Darkness pun menyusulnya di situs berbagi video Youtube. Hasilnya? Mohon maaf, saya tak akan memberikan review detail dari kedua lagu. Satu hal yang pasti, kolom komentar mereka kebanjiran kritik dan perdebatan hebat! Yang menarik, beberapa komentar mengerucut pada satu topik, kembali mencuatkan isu klasik perbandingan dua era DragonForce, yakni era ZP Theart dan Marc Hudson.

Sebelum memulai ini, pada akhirnya saya harus jujur terlebih dahulu: saya adalah penggemar berat ZP Theart (dan juga DragonForce sebelum mereka mengumumkan sebaris kalimat fenomenal "insurmountable differences of musical opinion"). Ya, bahasa kerennya saya adalah korban perceraian mereka. Sejak itu, saya tak lagi mengikuti DragonForce sebagaimana dahulu. Tapi kok buktinya masih mendengarkan dan update (sampai single terbaru)? Kalau kembali ke analogi, meskipun sudah tak tinggal serumah, kamu terkadang tentu masih kangen ayah (jika tinggal dengan ibu), atau kangen ibu (jika tinggal dengan ayah). 

Analogi lain, meskipun sudah tak bersama, bagaimanapun juga rasa perhatian pada mantan tentu terkadang masih muncul (setidaknya untuk mencari tahu bagaimana dia sekarang, semoga masih baik-baik saja). Apalagi kalau pisahnya dalam tren yang baik-baik saja seperti ZP dan DragonForce (setidaknya begitu yang tertulis di media, kenyataan biar internal yang tahu).

Lantas bagaimana jawaban judul artikel ini? Jika Anda merasa itu pertanyaan yang sulit, sebaliknya dengan senang hati dan justru dengan sangat mudahnya saya akan menjawab era ZP! Tentu bukan hal mudah untuk objektif pada perkara yang menyangkut selera (seperti musik). Tapi jika alasan tetap jadi tuntutan, ya sudah. Menurut saya materi DF jauh lebih epik di era ZP. 

Hal ini utamanya tentu saja menyangkut musik termasuk didalamnya durasi, lirik, struktur lagu: vocal line, dll. Padahal hal seperti itu (menurut saya) tak seharusnya terjadi mengingat otak dari musik DF itu sendiri (yang juga gitaris favorit saya sepanjang masa), yakni Sam Totman sampai saat ini masih memperkuat band. Tujuannya mungkin satu, DF ingin menawarkan sesuatu yang lebih fresh, meskipun mereka juga menyadari tentu saja tak semua fans akan welcome menerimanya. 

Dari segi lirik, tergantikannya kisah mitologi dan armageddon seperti album terdahulu menjadi entah apa di album sekarang bagi saya pribadi sudah sudah mereduksi setengah kekuatan materi DragonForce itu sendiri. Perubahan fatal tersebut juga bersambut durasi yang berubah dari 7 - 8 menit menjadi hanya tinggal 4 - 5 menit (meskipun kabarnya di album terbaru bakal ada lagu berdurasi 12 menit). 

Padahal kombinasi lirik mitologi/armageddon dan durasi panjang berbalut musik DragonForce itulah yang bagi saya menjadikannya epik, seperti mengaduk 'emosional' ketika mendengarkannya. Suatu rasa yang saya yakin hanya dirasakan oleh mereka para pendengar musik power metal khususnya lagu-lagu DragonForce. 

Dari segi musik, perubahan cukup signifikan juga kental terasa. Satu hal yang belum lama saya tahu ternyata sang basis Leclerq kini terlibat lebih jauh dalam pembuatan album (meskipun beberapa komentar di Youtube menyebut semua lagu DragonForce terdengar sama << yaelah, ini mungkin sekelompok orang yang baru mengenaldengar DragonForce kemarin sore). Musik DragonForce hari ini (menurut saya) seperti 'kehilangan level epik', menghadirkan satu kiblat stereotype seperti Cry Thunder/Three Hammers yang bagi saya membosankan. 

Selainnya? Ya Avenged Sevenfold wanna be, satu band mainstream yang tak akan pernah pas dengan saya sampai kapanpun. Keras tak berenergi. Lha, itu gimana? Ya pokoknya begitu. Membandingkan Judgment Day dengan Valley of the Damned atau Soldiers of the Wastelands? Hmm..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline