Lihat ke Halaman Asli

Drupadi Kampung Buluh

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hilang sudah ayu di wajah Nastri sejak suaminya pergi meninggalkannya begitu saja. Tidak lagi ada senyum kenes dan mata yang jahil di wajahnya, yang tersisa kini hanyalah tatapan nyalang penuh dendam dan seringah penuh amarah.

Lima tahun lalu kampung ini ramai, oleh bisik-bisik yang menyayangkan kenapa Nastri, si Kembang di kampung Buluh, begitu cepat dipinang orang, oleh kekecewaan para pemuda kampung yang diam-diam menyimpan rasa di hati mereka, untuk Nastri. Namun kini seolah Nastri sudah mati.

Yang aku tahu, Nastri dipinang lelaki kota, entah dari kota mana. Lelaki itu memiliki tubuh tinggi tegap, namun sedikit dempal, dengan kumis tipis dan wajah yang, ah bagaimana kugambarkan, sedikit bengis. Entah mengapa Nastri dan keluarganya menerima pinangan tersebut. Bagi kami pemuda kampung, Nastri lebih baik dinikahi salah satu dari kami.

Pernikahan Nastri berlangsung ramai dan meriah, tentu saja untuk ukuran kampung Buluh yang kecil, laki-laki kota itu tidak cukup memotong tiga ekor sapi, tapi lima sekaligus untuk menjamu seluruh tamu. Para tetangga juga disibukkan untuk rewangan guna melancarkan acara pernikahan itu.

Sementara seluruh kampung tengah sibuk, si calon pengantin, Nastri justru menjadi lebih pendiam, dan sesekali tersenyum palsu bila disapa para tetangga. Kegembiraannya yang dipaksakan membuatku sedikit bertanya-tanya. Bahkan tak jarang sesekali kulihat dia menitikkan air matanya saat tengah menyendiri di amben di belakang rumahnya. Namun memang dasar pengecut, aku yang sudah lama memendam rasa untuknya tetap tidak berani menyapanya.

Setelah pernikahan mewah itu belangsung, seolah tak akan habis uang, laki-laki itu membelikan sawah untuk keluarga Nastri, memperbaiki rumah Nastri, juga membelikan beberapa ekor binatang ternak untuk dibiakkan. Keluarga Nastri menjadi keluarga terpandang di kampung Buluh.

Baru belakangan diketahui, Nastri dinikahkan untuk membayar hutang judi sang Bapak, untuk kemudian dinikahkan dengan bujang lapuk yang menjadi lawan judi Pak Gusti, Bapak Nastri. Lalu bagai Drupadi yang dijadikan taruhan judi oleh Yudhistira dengan Kurawa, itupula yang dialami Nastri. Dari desas desus seluruh kampung, setelah dibawa ke kota, Nastri hidup layaknya pelacur dijadikan barang taruhan judi oleh suaminya sendiri.

Dan kini, setelah Nastri diketahui tengah berbadan dua, laki-laki kota itu hanya memulangkan Nastri ke rumah orang tuanya dan pergi meninggalkannya begitu saja. Keengganannya bertanggung jawab karena tidak yakin siapa ayah dari anak yang dikandung Nastri.

Kini di amben belakang rumahnya, biasa kuperhatikan Nastri menyenandungkan lagu yang tak jelas, kadang menitikkan air mata lalu sejurus kemudian menggeram. Tak ada lagi mata jahil dan senyum kenes menghiasi wajah ayunya, rambutnya yang menjuntai masai membuat penampilan tak lagi menarik.

Berbeda dengan Drupadi yang memiliki daya dan upaya untuk membalas para Kurawa juga secara tidak langsung ingin menunjukkan kekuatannya di depan Yudhistira, Nastri tak dapat berbuat apa-apa, yang dapat dilakukannya kini hanya meratapi nasibnya, dan mungkin sedikit menyalahkan kebiasaan berjudi Bapaknya.

Sesekali kusapa Nastri yang sedang duduk di amben di belakang rumahnya, diapun hanya menatapku sekilas sebelum kembali asik dengan dunianya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline