Lihat ke Halaman Asli

Nurul Fauziah

Mencintai tulis-menulis

Puisi | "Pengembara"

Diperbarui: 14 Juli 2024   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pengembara | Image Source: 愚木混株cdd20 via pixabay.com

Membisu.
Oleh kata terlupakan waktu.
Ketika langit kelam menggerutu.
Semu. Menunggu.

Kisah kita tidaklah syahdu.
Hanya secercah dari takdir yang berbuku-buku.
Sedang jiwa kita terus merindu.
Bagai kejora yang tampias oleh abu.

Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, sesal lebih banyak menghantu.

Karena kisah kita hanya sepenggal syahdan.
Gelora hasrat melenguh tak tertawan.
Untuk mawar merah yang layu di vas karatan.
Lidah bilang ini ujian. Padahal bukan.

Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, rasa membuat akal membatu.

Napas menolak mawas diri.
Saat wajah di cermin dipenuhi carut marut hati.
Ganda mendua, yang terlihat bukan yang asli.
Elegi.

Mata terpedaya gemerlap dunia.
Asa dilupa hingga bulan tiba.
Dosa tertawa saat ditampar realita.
Pengembara yang terlupa.

Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, jendela berderak oleh angin yang ngilu.

Karena, kita bukan siapa-siapa.
Langit bertetap, nisan selalu jadi akhirnya.
Usah dikata semua orang tahu maknanya.
Wangi atau busuknya kamboja, terserah kita.

Benar. Hanya terserah kita.

[Solok, 27 Agustus 2021]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline