Lihat ke Halaman Asli

Nurul Fauziah

Mencintai tulis-menulis

Kastil Tua

Diperbarui: 31 Juli 2021   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kastil Tua, image by Tabor via Pixabay

Di bawah purnama yang menggantung sempurna.
Saat rasi bintang membentuk taman permata.
Desau angin tampak menghasut jiwa-jiwa.
Memberi kabar bahwa di bukit sana, kastil tua berpesta.

Saat itu, musik klasik seakan mengeja mantra-mantra.
Gelas-gelas terangkat oleh tawa yang bagaikan raja.
Mahkota emas di lantai dansa memanggil penarinya.
Lentera emas menyala, menyingkir gelap dalam gulita.

Dan lelaki itu menarik dan memutar tubuhku. Menari denganku.
Genggaman tangannya kokoh. Perutku serasa berkupu-kupu.

Kami tenggelam oleh buaian nada.
Menari seakan lupa bahwa hari esok masih ada.
Sensasinya serasa mencengkramku di lantai dansa.
Nasihat-nasihat lama pun aku terlupa.

"Anakku. Hati-hati. Jangan tergoda."
"Sebab gedung-gedung tua selalu punya cerita."
"Mereka akan menawarimu hasrat dunia."
"Jangan percaya. Itu dusta. Perbanyaklah doa."

Tetapi, seringai tampannya membuatku lupa diri.
Menjeratku ke dalam indahnya halusinasi.
Akalku berkabut oleh rayu yang tak ku mengerti.
Ekstasi, membuatku terlupa tuk mawas diri.

Padahal, kulit-kulit pucat menyala bagai tembaga.
Taring cakar unjuk gigi memperjelas suasana.
Aku tahu. Aku harus pergi biar tidak dikena karma.
Berbalik. Dalam napas aku haturkan doa-doa.

Tatapan-tatapan memburuku seperti kelinci.
Tawa-tawa keras merindingku tuk berlari.
Namun, kegelapan memerangkapku agar tidak pergi.
Pintu-pintu menjauh. Mengecoh. Aku tak tahu lagi.

Oh Tuhan....

Sebuah tangan menepuk bahuku, membuatku terhenti.
Di telingaku, suara itu terkekeh. Lalu berbisik.

"Sayang, Maaf. Tapi kau mau lari ke mana?"

[Solok, 22 Juli 2021]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline