[Artikel ini sebenarnya adalah salah satu paper yang saya tulis untuk tugas semasa kuliah saya. Rasanya sayang sekali apabila saya biarkan artikel ini tertimbun begitu saja di antara jerami file di laptop saya. Artikel ini ditulis oleh saya yang pada masanya masih berada di awal perkuliahan sehingga banyak sekali kekurangan baik dari segi tata bahasa maupun substansi--saya tahu ini membela diri, hehe. Oleh sebab artikel ini lebih berisi informasi teoritis sebuah konsep daripada mengaitkannya dengan situasi politik yang sedang kita hadapi, akan lebih baik jika saya meletakkannya pada kategori Ruang Kelas saja. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca.]
Semua orang tahu.
Sekiranya, ada banyak pembahasan mengenai demokrasi baik secara konsep, ideologi, sejarah, pelaksanaan, dan berbagai hal lainnya dari berbagai tokoh dan pemikir intelektual. Kajian mengenai demokrasi pun juga sudah ramai dibicarakan dalam forum-forum diskusi baik yang bersifat sederhana (kelas misalnya) ataupun dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti seminar pendidikan, talkshow, dan sebagainya.
Setidaknya orang-orang pada umumnya tahu bahwa demokrasi adalah konsep kehidupan bernegara dengan asas dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Seminimalnya semua orang tahu bahwa demokrasi merupakan konsep di mana segala sesuatu yang menjadi cita-cita dan tujuan hidup negara bersumber dari dan untuk rakyat, sementara negara berfungsi sebagai sebuah alat yang digunakan oleh rakyat dalam menggapainya. Setidaknya semua orang tahu.
Akan tetapi, hal yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah bahwa sesungguhnya penggunaan konsep demokrasi tersebut juga memiliki batasan-batasan tertentu dalam sistematikanya. Anggapan populer bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik dalam membangun kehidupan bangsa berdasarkan mufakat antara rakyat dan pemerintah adalah keterbatasan dari demokrasi itu sendiri yang pada akhirnya menimbulkan berbagai ketimpangan dalam eksekusinya.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus dan kejadian yang bertemakan penyalahgunaan demokrasi, misalnya hilangnya otoritas dan kepentingan untuk rakyat yang digantikan oleh tujuan pemenuhan kebutuhan pribadi bagi pihak-pihak tertentu.
Demokrasi pada dasarnya merupakan suatu konsep yang diilhami prinsip kebebasan Individu yang tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat sejak abad ke-17 (atau jika ingin ditarik lebih jauh lagi, ide/akar demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani). Seperti yang kita ketahui, demokrasi rupanya bukan hanya dipakai oleh negara-negara Barat semata, namun juga diadopsi oleh banyak negara di dunia, salah satunya Indonesia. Pertanyaannya, apakah demokrasi ala Barat tersebut sesuai dengan kita?
Sekilas mengenai figur Muhammad Hatta.
Mohammad Hatta, salah seorang cendekiawan Indonesia yang terkenal sebagai proklamator bangsa, memberikan gagasannya mengenai demokrasi. Hatta sendiri adalah seorang intelektual yang mencakupi banyak bidang seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan berbagai hal lainnya, mengukuhkannya bukan hanya sebagai pejuang bangsa pada era kemerdekaan, tetapi juga sebagai tokoh pemikir brilian yang ide-idenya selalu menjadi pegangan dalam banyak bidang ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam hal ini, pemikiran Hatta sendiri tak dapat dilepaskan dari berbagai pengalaman hidup yang telah dialaminya.
Muhammad Hatta berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia tidak hanya tumbuh dalam keluarga dengan adat dan budaya yang kental tetapi juga landasan agama yang kuat. Ia juga pernah mengecap pendidikan secara langsung di Belanda, bertemu dan berteman akrab dengan berbagai tokoh bangsa lainnya yang kemudian seiring berjalannya waktu, berjuang dalam merumuskan kemerdekaan bangsa.
Bersama Soekarno, ia menjadi bapak bangsa dengan jabatan Wakil Presiden pertama era kemerdekaan. Ia dan Soekarno dikenal sebagai dwi tunggal yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Berbeda dengan Soekarno yang pintar beretorika, tegas dalam berbicara, serta cenderung anti barat (setidaknya jika diukur dari rentang waktu Soekarno menjabat sebagai Presiden), Hatta justru merupakan kepribadian yang lebih pendiam, lembut, ahli diplomasi dan bukan anti barat — selama ia bisa mengambil hal-hal yang baik dari Barat.
Berdasarkan kepribadian tersebut, Hatta dinilai sebagai seorang tokoh yang mampu menyejukkan dan menenangkan rakyat, ketika Soekarno tampil sebagai orator ulung pembakar semangat perjuangan yang menggelora. Jika saya mengatakannya, Ketika Soekarno adalah nyala api yang membara, Hatta adalah angin sejuk yang menenangkan, namun pada saat bersamaan memperkuat kobaran api para pejuang.