Lihat ke Halaman Asli

Tambang Timah di Kampung Kami

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampung kami kaya akan bahan tambang  satu ini..timah. Bangka Belitung sementara ini sangat tergantung dengan pertambangan timah,maaf  Pulau Bangka lebih tepatnya, sampai hari ini ekonomi daerah masih ditopang dari sektor ini, saudara kami di Belitung sudah lepas landas duluan, mereka mulai beralih ke sektor pariwisata, tak usah saya ceritakan bagaimana terkenalnya pariwisata Belitung saat ini, jujur saya iri dan bangga.

Operasi tambang timah di kampung kami sudah ratusan tahun sejak zaman belanda,banyak mudharat, dan berjuta manfaat. Termasuk saya yang menikmatinya, kebetulan bapak saya tercinta bekerja selama lebih kurang 30 tahun di perusahaan tambang timah swasta (asing), sehingga saya bisa sekolah hingga perguruan tinggi,dan sekarang saya bekerja di perusahaan yang sama .. ya berkat si timah ini, hehe..

Dengan berjuta mudharat dan manfaatnya, tambang timah ini menopang hidup masyarakat di kampung kami, seakan tak bisa dipisahkan, kata orang seperti kuku dan kulit. Sampai di pertengahan Juli 2012, tersiar kabar, izin penegelolaan tambang di kampung kami tidak akan DIPERPANJANG!!..oke, saya bisa melihat bagaimana bimbangnya wajah teman-teman dan orang-orang di kampung saya, ibarat sedang putus cinta mungkin.

Alasan sang perjabat untuk tidak memperpanjang adalah. Pertama, teknologi penambangan sudah bisa diadopsi oleh pihak dalam negeri (BUMN). Saya setuju, potensi dalam negeri harus dimaksimalkan. Pernyataan kedua yang cukup menggelitik hati  saya, di berita tersebut tertulis "menurut sumber, berdasarkan kajian teknis dan hukum". Kajian teknis dan hukum?hanya dua hal itu?..tidak dikaji dalam hal sosial ekonomi masyarakat, pak pejabat?tidak dikaji dampak penutupan tambang dari sisi sosial ekonomi?..saya ngerasa kayak dicuekin pacar,entahlah atau saya yang terlalu sensitif.

Pak Pejabat, saya inign bercerita sedikit. Sebagai gambaran, karyawan yang bekerja di perusahaan sebanyak 400 orang, outsourcing sekitar 500 orang. 1000 orang yang bergantung dengan tambang ini. Oh tidak, 3000 lebih tepatnya, kenapa?kita asumsikan 1 orang menanggung hidup 3 orang, ya benar 3000 orang yang bergantung hidup akan si timah ini. Oh tidak, lebih dari 3000 orang, karena banyak pemilik warung, rumah makan, dan usaha lainnya yang konsumennya adalah orang - orang yang mendapat penghasilan dari perusahaan ini, saya tak bisa lagi bisa menghitung berapa ribu orang yang berhubungan kangsung atau tak langsung secara financial jika tambang timah ini benar-benar ditutup. Saya tidak tahu pasti perputaran uang perbulan di kampung kami, pak pejabat.

Dengan penutupan ini, saya tidak bisa membayangkan konflik horizontal yang mungkin terjadi, perebutan lahan tambang antar masyarakat, angka kriminal meningkat, pengangguran bertambah, daya beli menurun.....bisa kawan tolong saya untuk menyebutkan lagi dampak penutupan ini?

Orang-orang yang punya kemampuan teknis, sepertinya akan mudah mencari penghidupan lain, dengan melamar kerja di tempat lain. Tapi, bagaimana dengan bapak-bapak yang memegang sapu setiap hari , ibu-ibu pembuat minum..mereka mau melamar kerja dimana?uang sekolah anak dapat darimana?hari ini makan apa?..

Saya yakin, ada jalan keluar yang baik untuk kampung kami nantinya, karena Allah tidak mungkin memberi ujian, di luar kempuan umat-Nya,amin.

Dan saya sangat yakin, pemerintah dan  pak pejabat tidak mungkin hanya memikirkan dari sisi teknis dan hukum, sisi sosial, ekonomi, dan perasaan masyarakat juga dipikir kan pak?..bapak pasti memikirkan hal itu, saya yakin,hanya belum bapak ungkapkan saat itu.. mungkin akan bapak jadikan hadiah lebaran untuk kami. Dan jika benar-benar ditutup, semoga pertambangan timah dikampung kami ini menjadi sejarah harum nantinya, Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline