Lihat ke Halaman Asli

Beri Aku Satu Alasan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Entah mengapa, sejak pertama bertemu, aku memang sudah tidak merasakan apa-apa. Yang aku tau dia sosok yang solehah, berbakti terhadap orang tua, dan sejauh ini, teman-teman dekatnya sangat respek padanya karena dia punya loyalitas bagus terhadap hubungan pertemanan. Tapi entah mengapa hal tersebut tak mampu menjadi alasan bagiku untuk mencintainya, bahkan untuk sekedar suka.

Pada tahun 2009, sanak keluarga kami berkumpul di sebuah Villa puncak, berbicara ngalor-ngidul tentang masa lalu. Beberapa tengah berbicara tentang masa depan dan tidak sedikit yang tengah berbicara saat sekarang, tentangnya yang cantik, elok, elegan serta baik hati. Banyak pria mendambakannya.

Disertai kopi hangat dan beberapa kue fresh from the oven , kami berbincang-baincang hangat, berbagi keluh kesah satu sama lain, hingga entah dapat ilham dari mana, tau-tau dia mau dicalonkan menjadi pendampingku.

Kontan aku menolak. Bukan saja karena alasan aku tidak suka dan tidak respek padanya, langkah tersebut ku lakukan karenabagiku dia terlalu cantik untuk pria sepertiku yang buruk ini, dia juga terlalu muslimah untuk ukuran pria serampangan sepertiku, dan bagiku pula, dia terlalu baik untuk mendapatkan pria sepertiku. Masih banyak sosok lain yang sejatinya masih bisa dijadikan pendamping baginya, yang jauh lebih sholeh, baik dan qualified. Kenapa mesti aku?

Namun argumentasiku kalah dengan suara-suara yang mendengung keras di Villa itu. Maka aku seperti sapi yang telah dicucuk hidungnya, tak mampu berbuat apa-apa, semuanya berjalan dengan yang diinginkan mereka. dan akupun menikah dengannya! Sebuah kenyataan yang bahkan sehari sebelumnyapun, tak pernah terlintas dalam pikiran ku sama sekali. Ya, aku sudah menikah!

Akupun terbiasa dengan ucapan, “Selamat menempuh hidup baru ya!” dan kalimat lain sejenis! Selamat apaan? Hanya bikin aku depresi! Keluhku dalam hati, namun itu terus dan tetap berlanjut hingga memasuki bulan pertama.

Bulan kedua beda lagi, pertanyaannya adalah “Kapan punya anak?” semakin jengkel saja pikiranku dengan pertanyaan itu. Tidak hanya tetangga saja, tapi semua teman, kerabat dan bahkan mungkin orang yang tak pernah ku kenal sekalipun, semuanya mempertanyakan hal serupa.

Ku lihat Istriku, dia hanya diam saja! Memang harus ku akui, sejak kami tinggal seatap, kami jarang berkomunikasi, hanya ketika kami datang pada acara walimahan kawan, acara sunatan massal yang baru beberapa minggu lalu dihelat oleh puskesmas setempat dan acara tahlilan di rumah tetangga kami terlihat begitu rukun. Entah apa yang dia pikirkan, sejak dia tinggal bersamaku, tak lagi kulihat wajahnya bersinar dan sumringah seperti saat kami belum menikah.

Oh Tuhan, apa yang telah hamba lakukan?

Dan entah mimpi apa, istriku ternyata hamil juga. Pertama dia ku lihat muntah-muntah di kamar mandi, bahkan saat dia tengah tidur dengan ku, ku lihat dan ku dengar dia muntah-muntah. Awalnyaku biarkan saja, sebab yang ku tahu, musim penghujan memang sering membuat sistem imun tidak kebal, gampang sakit dan biasanya flu atau masuk angin. Namun karena aku kasihan, akhirnya ku bawa dia ke dokter. Ingin memastikan apa penyakit dia yang sebenarnya. Dan hasil diagnosa, ternyata dia hamil.

Sesaat aku tertawa, tertawa kecut tepatnya, karena aku heran, bisa juga dia hamil. Namun semuanya tetap tak berubah. Aku tak memiliki gairah dengannya. Tak pernah ada rasa khawatir saat pergi ke rumah orang tuanya di desa sebelah dan ternyata tidak pulang sampai larut malam, dan aku juga tak pernah kahwatir jika dia pergi ke pasar dan ternyata tidak menemukan angkot untuk pulang. Entah kenapa. mungkin karena aku percaya bahwa dia wanita sholehah, baik budi pekerti dan tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak, atau karena memang aku sudah benar-benar tak memiliki perasaan sama sekali? Ah tak taulah aku!

Ku namai putra pertama kami Bian, simpel tapi aku suka dengan namanya. Istriku tidak pernah banyak komentar dengan nama itu. Dia hanya mengiyakan dan menerima saja yang menjadi inisiatifku. Dan Bianpun tumbuh besar hingga lahir pula anak kami yang kedua dan ketiga masing-masing namanya Yuri dan Syaiful. Namun sungguh aku masih belum bisa mendapatkan chemistri dengan istriku. Dia tetap orang asing bagiku!

Jujur bukannya aku tak mau menjalin hubungan harmonis dengannya, bukan juga tak mau untuk bersayang-sayangan atau menjalin hubungan penuh cinta dengannya, mengutarakan serta mencurahkan seluruh hidupku untuknya, namun sungguh aku ga bisa!

Aku sudah pernah berusaha mengajaknya makan malam, namun yang ada ya cuman makan saja, enggak ada obrolan, aku juga pernah ngajak dia nonton film, lagi-lagi hanya nonton saja, ga pernah dapat chemistry. Bahkan pernah juga aku ajak dia menginap di Villa puncak, dan yah hanya ke puncak saja. Tak ada yang istimewa.

Yang lebih aneh lagi, aku juga pernah ke dukun, atau orang pintar gitulah, namun tetep saja aku ga bisa mencintainya. Sungguh perasaan ku enggak ada sama sekali. Ibaratkan manula, posisiku sudah masuk pada tahap menepouse! Enggak ada cinta buat istriku.

Sungguh aku tau bahwa sikapku memang membuatnya tersiksa, sikapku juga hanya membuatnya sakit dan mungkin juga karena alasan ini pula, di beberapa malam saat dia tahajud, aku mendengar keluh kesahnya pada Tuhan, memohonkan agar aku bisa sadar sembari menangis tersedu, agar aku bisa mencntainya seperti dia mencintaiku.

Seandainya dia tau bahwa aku sudah berusaha mengasihi, menyayangi dan mencintainya! Ah Tuhan, berilah hamba satu alasan untuk mencintainya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline