Lihat ke Halaman Asli

Belajar Dari Dua Sisi Mata Uang

Diperbarui: 8 Maret 2016   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Suatu sore, mendung menggelayut di lelangit Pesantren Banyuanyar. Di salah satu sudut kompleks kantor yang berjejer tepat di samping koperasi pesantren, terlihat beberapa orang dengan pakaian ala santri, tengah sibuk memilah sembari menyusun berkas-berkas berisi tabel pendapatan dan omzet BMT, perbankan islam yang sepenuhnya dikelola pesantren.

Grafik menunjukkan pendapatan yang diperoleh BMT sejak pertama dibuat sekitar 1,5 tahun lalu, tepatnya awal tahun 2009, memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan beberapa bulan belakangan, peningkatannya berada di atas kisaran 50%, sebuah pencapaian yang cukup baik mengingat umurnya yang masih sangat baru. Karenanya tak mengherankan jika kemudian BMT yang jamak dikenal masyarakat Madura khususnya kota Pamekasan dengan sebutan NURI ini kemudian mulai mengepakkan sayapnya dengan membuka cabang di beberapa kecamatan, baik di kota Pamekasan sendiri maupun kota lain semisal Sampang, Bangkalan dan Sumenep. Beberapa cabang telah diresmikan, sementara beberapa lagi masih berstatus embrio.

Membicarakan pesantren dan perbankan islam, khususnya di Indonesia, analogi yang pas agaknya memang tak lain adalah dua sisi mata uang. Dua sisi karena di satu sisi antara perbankan Islam dengan pesantren memiliki banyak persamaan; sama-sama menggunakan Islam sebagai basis keilmuan; sama-sama menggunakan Islam sebagai sumber refrensi dan tentu saja ;sama-sama memiliki tujuan holistical values, yakni tujuan yang values ketuhanannya menjadi core pergerakan visi dan misinya. Namun di sisi lain, keduanya seakan memiliki wajah paradoks, karena keduanya memilih jalannya masing-masing.

Lebih dari itu, keduanya juga mengalami perbedaan nasib yang cukup terjal. Perbankan Islam mengalam gradasi yang cukup signifikan, terlebih ketika ia mampu menjadi satu-satunya system yang ampuh dalam menghadapi resesi global beberapa waktu lalu, sementara pesantren justru mengalami degradasi, baik dalam bidang keilmuan, sumber daya manusia, hingga kepercayaan masyarakat luar terhadap pesantren.

Sejatinya, masing-masing dari keduanya memiliki nilai jual tersendiri yang jika saja dikolaborasikan dengan baik dan dibarengi dengan sinergi melalui hubungan harmonis antar keduanya, akan menjadikan perbankan Islam,khususnya di Indonesia dan pesantren menjadi semakin kuat dan tidak menutup kemungkinan menjadi mercusuar perbankan Islam di asia, bahkan dunia sekalipun.

Perbankan Islam misalnya, sebagai salah satu jenis perbankan yang banyak diminati oleh banyak costumer yang datang dari beragam latar belakang, terlepas dari agama, suku, ras dan bangsa, tentu membutuhkan pegawai yang tidak hanya mampu menghitung dan melihat peluang dalam dunia perbankan, lebih dari itu, pegawai tersebut juga harus mampu menjadikan islam sebagai bahan pijakan utama dalam mengemban amanah sebagai pegawai, sebagaimana fondasi perbankan yang berpijak pada nilai-nilai Islam, dan untuk hal ini, tentu santri memiliki kualifikasi di dalamnya. Pengetahuan mengenai ilmu agama, baik fiqih, tashowuf hingga tatakrama yang lekat dengan nilai-nilai keislaman, menjadi salah tiga alasan kualifikasi ini.

Sementara itu, santri, sebagai komponen penting dalam dunia pesantren, akan memiliki kesempatan yang begitu luas untuk mentransformasikan keilmuannya pada ranah yang lebih kongkrit dengan mengaplikasikan konsep dan theori yang didapatnya semenjak berada di Pesantren dalam satu bingkai yakni perbankan islam. Lebih dari itu juga, komunitas yang bagi sebagian besar masyarakat, orang ini dianggap sebagai kumpulan tukang baca yasinan, tahlil atau maksimal ustad dadakan ketika menjelang bulan suci Ramadhan, akan tereliminir dengan sendirinya.

Namun demikian, harus ada langkah-langkah kongkrit yang penting dilakukan oleh keduanya dalam rangka mewujudkan cita-cita luhurnya sebagai mercusuar sekaligus episentrum Perekonomian Islam di dunia. Langkah-langkah tersebut bisa berbentuk program dengan tujuan berjangka, baik panjang maupun pendek. Ada tiga contoh yang bisa penulis paparkan, antara lain:


  • Perbankan Islam goes to Pesantren

Sejauh ini, perbankan, baik konvensional maupun syariah, memang sudah banyak yang melakukan interaksi dan kerjasama dengan Perguruan tinggi, baik yang sekuler, maupun berbasis agama, baik yang negeri maupun swasta.

Secara umum, tidak ada yang salah dengan realitas tersebut, sebab ada hubungan yang mengerucut pada simbiosis mutualisme, namun demikian, realitas tersebut tidak lantas serta merta menjadi pembenaran dari "penelantaran" terhadap pesantren. Sebab pesantren sendiri juga memiliki alasan rasional untuk diperlakukan sama, setidaknya oleh perbankan islam. karenanya penting kiranya bagi pihak perbankan untuk melakukan kerjasama dengan pesantren.

Dalam rangka ini, setidaknya ada tiga poin yang penting untuk dicatat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline