Lihat ke Halaman Asli

Tuhanmu, Tuhan Mereka dan Tuhanku

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak banyak yang berubah dalam diriku setelah sepuluh tahun hidup di negeri orang. Setidaknya itu penilaian pribadiku. Selera makan dan berpakaianku tetap sama; sangat meng-Indonesia. Aku tetap memandang negeriku sebagai yang terindah, di mana aku dan suami ingin menghabiskan hari tua kami nanti. Aku tidak pernah membatasi perkenalan dan pertemanan dengan orang berkebangsaan apapun. Namun, aku yakin, seperti halnya kebanyakan ekspatriat Indonesia di seluruh dunia, aku merasa paling nyaman kalau sudah bertemu dan bercakap - cakap dengan teman serumpun, apalagi teman sebangsa.

Karena itulah betapa senangnya aku ketika seorang teman asal Filipina memberitahuku, "I know an Indonesian lady who lives in this city. She's a muslim too, but she's very modern. Can I ask your permission to give her your phone number, Savitry?". Spontan aku menjawab, "Of course. Please do so. I'm so glad to hear that, because after more than a year living in here, I've only managed to find one Indonesian woman who lives in neighbouring city".

Tak kusangka, perasaan girang itu akan berubah menjadi perasaan iba dan bimbang di hati.

Singkat cerita, bertemu juga aku dengan, sebut saja, Kak Ratna akhir minggu lalu. Dari pandangan pertama aku setuju dengan pendapat teman Filipina, bahwa Kak Ratna memang berpenampilan modern. Wajahnya manis, mengingatkanku pada penyanyi Cici Paramida. Dengan pakaian ketat, rambut terurai, dandanan cukup berat dan sepatu keds, dia memang tampak lebih muda daripada usia sebenarnya.

Seperti dua orang yang sudah lama kenal, percakapan kami mengalir seperti air; tentang suka - duka kehidupan sebagai minoritas di Eropa, betapa mahalnya biaya hidup di negara ini, masakan Indonesia, juga tentang kampung asal masing - masing. Aku begitu bersemangat bercerita tentang pengalaman pertamaku menjalani puasa Ramadhan di musim panas yang bisa sampai 19 jam sehari. Aku juga berbagi kisah tentang betapa beratnya perjuangan menegakkan sholat lima waktu di musim panas, karena di belahan bumi utara seperti ini, matahari seperti tak pernah terbenam. Sehingga kita tak bisa menentukan waktu sholat semata - mata berdasarkan arah gerakan matahari, melainkan menjadikan jadwal sholat dari masjid setempat sebagai panduan.

Dari sini aku merasa aneh. Kenapa Kak Ratna tak menanggapi dengan antusias ceritaku itu? Dia cuma menanggapi dengan singkat, "Memang berat say, puasa di sini. Memang berat". Tanpa kelanjutan apapun. Padahal sebelum masuk ke topik ini, dia banyak bercerita macam - macam tentang masa lalu dan keluarganya.

Akupun mulai curiga dan kemudian bertanya, "Kak Ratna muslim 'kan?". Aku tak tau apakah pertanyaan ini begitu mengejutkan atau tak pantas, tapi kemudian dia menjawab, "Mm... bukan".

Aku tanya lagi, "Kristen?"

Dia jawab, "Bukan".

Ketika dia juga menjawab bukan terhadap Katholik, Hindu, Buddha dan Yahudi, aku berkesimpulan bahwa Kak Ratna ternyata seorang yang tak beragama alias atheis. Kesimpulan inilah yang kemudian dibenarkan olehnya.

Tercekat aku begitu mengetahui hal ini. Pertanyaan yang kemudian spontan muncul adalah, "Kenapa?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline