Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Keong

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa minggu belakangan ini jagoan kecilku selalu menantikan tibanya saat bermain di luar. Sumringah di wajahnya, celoteh mulut mungilnya tak terbendung karena dia akan bertemu dengan sahabat - sahabatnya yang hanya muncul setelah hujan reda. Tampaknya keong - keong berbagai ukuran yang meramaikan jalanan beraspal menimbulkan ketertarikan tersendiri di mata si kecil. Keong yang bertubuh lunak, kecil atau besar, yang membawa rumah ataupun tidak, dengan antena di kepala, merambat lambat dengan perutnya, menikmati lembab dan nikmatnya udara yang segar karena hujan. Melihat keong, siput atau bekicot dengan segala ciri khasnya bisa menimbulkan berbagai reaksi; mulai lucu, geli, jijik atau tanpa reaksi apapun sehingga tak masalah bila sang keong terinjak sepatu atau terlindas ban sepeda, baik sengaja ataupun tidak. Walaupun tak sepopuler binatang - binatang seperti monyet, harimau, kucing atau anjing, ular dan lain - lain, keong tak luput pula menjadi subjek / objek cerita rakyat di Indonesia. Kita tentu pernah mendengar legenda Keong Emas (Jawa Timur), atau hikayat Si Rusa yang Sombong dan si Siput yang Cerdik (Maluku Utara). Di belahan dunia lain, diceritakan bahwa meskipun lamban, keong adalah makhluk cerdik yang bisa mengalahkan binatang yang kuat atau cepat. Pesan moralnya: otak seringkali menang ketika beradu dengan otot. Dalam dunia kuliner, keong merupakan satu sumber makanan kaya protein dan kalsium. Di pulau Jawa, bekicot dijadikan keripik renyah, sate atau sekedar ditumis dengan bawang merah, bawang putih dan jahe. Perancis mungkin salah satu negara yang paling sering memanfaatkan keong dalam daftar menunya. Masakan seperti l’escargot sudah sangat akrab di telinga. Tak berhenti sampai di situ, baru - baru ini bahkan ada inovasi telur keong alias snail caviar (caviar d'escargot)! Sang keong juga mendapat tempat terhormat di peta kuliner Jepang, Belanda, Jerman, Amerika, Kanada, Cina dan Jepang. Sudah ada yang pernah mencicipi masakan keong? Aku sudah, beberapa tahun yang lalu, walaupun cuma sebatas keripik keong. Menurutku rasanya lumayan; mungkin karena pengaruh bumbunya juga. Belum terpikir untuk mencoba menikmati keong "basah" terhidang di piringku. Tentu tak semua keong aman dimakan alias beracun. Nah, tampaknya jenis keong inilah yang saat ini tengah naik daun dan membikin kehebohan di Indonesia. Entah apa yang ada di pikiran pencipta "Keong Racun" saat mengambil jenis hewan ini sebagai referensinya. Apakah beliau terpikir bakteri salmonella yang terkandung dalam daging keong? Tapi kenapa keong racun diasosiasikan dengan lelaki hidung belang? Kenapa tidak pilih buaya, atau rubah yang licik, atau ular kobra yang jelas berbisa? Entahlah. Sepertinya logika tak selalu diperlukan dalam menganalisis banyak hal, termasuk selera bermusik atau menikmati musik. Buktinya? Meskipun menurutku tidak ada sangkut paut sama sekali antara keong racun dengan lirik lagu ini, yang jelas sang keong beracun sukses mendatangkan rejeki nomplok bagi penciptanya maupun duo "artis dadakan" yang cuap - cuap mendendangkannya. Dan melihat dari antusiasme para "facebookers" maupun "youtubers", terbukti bahwa keong bukan cuma enak dimakan, tapi juga dilihat, dinyanyikan atau sekedar didengarkan. Well, paling tidak, buat yang menggemarinya. Aku pribadi cuma sanggup bertahan mendengarkan menit pertama saja... Mungkin ada yang berpikir, untuk apa membahas hal "tidak penting" seperti ini. Maaf kawan - kawan... Aku cuma tergelitik melihat betapa mudahnya nasib orang berubah "menjadi lebih baik", meskipun pesan yang disampaikan sebagai medianya "tidak selalu baik" atau membawa manfaat selain kesenangan sesaat bagi penikmatnya. Kreativitas para pihak di balik sukses Keong Racun bolehlah diakui. Cuma aku pribadi lebih berbesar hati mengakui kalau kreativitas itu disampaikan secara lebih santun. Kenapa harus menyanyikan hal cabul untuk terdengar lucu? Santun juga bisa lucu dan menghibur 'kan. Di alamnya, daya hidup keong atau bekicot berkisar antara 4 - 18 bulan. Cukup singkat. Berapa lama fenomena Keong Racun a la Indonesia ini akan bertahan? Mungkin sekarang memang lagi musimnya. Mungkin setelah masanya lewat, Keong Racun akan terkena seleksi alam dan terhapus dari benak penikmatnya. Kita lihat saja. Kalau boleh sekedar menyarankan sih (dan semoga ada yang mendengarkan...), Ramadhan sudah mengetuk di pintu kita. Mungkin ada baiknya kalau untuk sementara kita matikan dulu keinginan untuk menikmati hal - hal tak penting semacam Keong Racun. Masih banyak daftar kegiatan lain yang jauh lebih bermanfaat dan mendatangkan kebahagiaan jangka panjang daripada sekedar lucu - lucuan. Mohon maaf untuk yang tidak berkenan atas tulisan ini. Selamat berakhir pekan. Selamat bersiap - siap menyambut Ramadhan nan mulia...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline