Lihat ke Halaman Asli

Demi Mimpi, Kami Tidak Akan Berdiam Diri

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mentari belum bangkit dari peraduan-nya, ayam-ayam jago masih tertidur pulas di kandang, begitupun dengan mereka, keluarga-keluarga kecil penghuni terminal Depok yang masih terlelap di bawah atap ruko tempat berdagang-nya. Entah itu tepatnya pada hari apa, sekitar pukul 3 pagi mereka semua terbangun. Bangun bukan untuk santap sahur, tetapi untuk melihat sebuah dunia yang tampaknya lebih jujur. Ratusan Pasukan Pengayom masyarakat berseragam lengkap dengan segala macam atributnya hilir mudik sana sini. Langkah kaki menginjak tanah membuat  debu berterbangan tak tentu arah. ditambah dengan suara buldozer yang makin lama makin kencang, memecah keheningan di sepertiga malam itu. Pagi itu mereka digusur! Terusir secara rapih dan terorganisir. Jalan di sekitar terminal sengaja di tutup untuk memudahkan proses perapihan ini. Tidak ada perlawanan berarti. selain karena jumlah yang memang tak sebanding tetapi lantaran mereka juga tidak menduga hal ini akan terjadi, apalagi di pukul 3 pagi! Bukan tanpa alasan mereka terkejut melihat ini. Pasal-nya pada malam sebelum penggusuran, sedang terjadi proses negoisasi dengan pihak terkait (pemkot dan pengembang) yang belum memunculkan kata sepakat lantaran harga ganti yang ditawarkan terbilang rendah. Negosisasi ini juga dikotori dengan tindakan preman-preman bayaran yang entah datang dari mana tiba-tiba merampas surat perjanjian dan merobeknya. Karena memang merasa belum menemukan kata sepakat, tentu saja pedagang mengira bahwa tidak akan terjadi penggusuran. Ditengah mereka asyik dengan tidur-nya, semua kejujuran terungkap. Maksud sebenarnya dari para pemegang uang terwujud dalam gerakan tangan buldozer merauk dinding-dinding ruko yang makin lama tak terbentuk. Semua telah tergusur dan kini kasus di lemparkan ke pengadilan berikut dengan uang pengganti yang sudah di tentukan pihak pemkot jika pedagang ingin menuntut balik. Mereka tahu betul bahwa pedagang lemah dalam hal ini, lemah dalam urusan tetek bengek birokrasi yang sudah dirancang sedemikian rupa dengan bahasa-bahasa yang mereka tidak ketahui.

Itulah awal dari proyek penertiban dan perapihan kota Depok. Pemkot mengatakan bahwa maksud dengan ditertibkan-nya area sekitar terminal untuk dibuatnya lahan hijau dan taman kota. Namun belakangan justru terjadi pengalihan projek. Rencana semula yang ingin menjadikan lahan hijau berubah menjadi pembangunan pusat grosir bertingkat dan ruko-ruko mewah yang katanya tertata lebih rapih. Lebih mencengangkan lagi, entah dikasih makan apa ternyata rencana tersebut justru di ridhoi oleh anggota DPRD Depok. Terjadi pelelangan tender untuk proyek pembangunan pusat grosir ini dan dimenangkan oleh PT. Andika selaku pengembang kawasan terminal depok yang akan di kontrak selama 30 tahun untuk membangun kawasan apartemen ini. Guna memuluskan aksi pembangunan ini, dilakukan aksi perluasan lahan karena ada beberapa lahan yang masih sengketa. Dituding berada di atas lahan terminal yang katanya juga milik pemerintah, Sekolah Masjid Terminal kini terancam akan terkena penggusuran (lagi). Lebih tepatnya lahan yang akan digusur sekarang ini merupakan bangunan sudah jadi berupa ruang kelas SMP, TK dan Asrama Guru yang tanah-nya secara sah dimiliki oleh Sekolah Master. Pak Nurrohim, selaku pendiri dari sekolah master mengatakan bahwa lahan yang diatasnya berdiri ruang kelas SMP, TK, dan Asrama Guru merupakan lahan milik sekolah master. Ia juga menegaskan bahwa tidak menginginkan uang karena tanah tersebut tanah milik master bukan pribadi dan menawarkan opsi jika digusur, master menginginkan bangunan sekolah tersebut di bangun kembali di sekitar area sekolah master yang masih ada lahan kosong dengan luas dan kondisi bangunan yang sama syukur-syukur bisa lebih baik.

Kehabisan ide untuk memuaskan hawa nafsu-nya, pihak pemkot mulai melancarkan jurus-jurus murahan dengan menuding bahwa keberadaan sekolah master merupakan sumber permasalahan dan merusak tata kota depok. Mereka mengatakan bahwa semenjak berdiri-nya sekolah master, banyak kaum gepeng dari jabotabek datang ke terminal depok dan mengotori kota. Lebih lucu lagi, mereka mengatakan dan menuduh bahwa kejadian kriminal beberapa waktu lalu di sekitar terminal, pelaku nya adalah anak sekolah master. Terdapat satu banding seribu kemungkinan dari sekian banyak pelaku kriminal di depok pelaku nya adalah anak master yang notabene sudah berisi banyak anak jalanan yang memilki moral dan kualitas lebih baik (silahkan search sendiri mengenai prestasi dan lulusan sekolah master). Seharusnya kalau mereka mau dan bisa berfikir lebih jernih sesungguhnya sekolah master walaupun tidak dibantu oleh pemerintah, secara tidak langsung mengurangi angka putus sekolah. Banyaknya gepeng yang datang di depok bukan karena salah sekolah master. Hal ini justru seharusnya membuka mata kita bahwa pemerintah tidak memperbaiki nasib kaum marginal, hanya memperlakukan mereka layaknya sebuah kuman yang harus dibasmi dan disingkirkan jauh-jauh sehingga sekolah master menjadi sebuah magnet bagi mereka yang ingin memperbaiki diri tapi tidak diberikan kesempatan oleh pemerintah dan masyarakat kita. Pemerintah melihat bahwa gepeng adalah para pelaku dari rusaknya moral masyarakat dan tata kota tetapi justru sekolah master melihatnya dari sudut yang lebih bijak. Sekolah master menganggap bahwa mereka bukan lah pelaku dari rusaknya kehidupan masyarakat, melainkan korban dari rusaknya sebuah masyarakat dan tata kelola pemerintah. Untuk membuktikan hal tersebut mari kita ajukan sebuah pertanyaan: sudah ada sekolah gratis dan wajib belajar 9 tahun, lantas mungkin kita bertanya untuk apa sekolah master masih ada? Memang sekolah sudah gratis dan kita ditanggung belajar 9 tahun oleh pemerintah tapi apakah ada sekolah pemerintah yang mau menerima siswa yang asal usulnya tidak jelas? Siswa yang tidak memiliki akte kelahiran? Jangan kan akte kelahiran, banyak dari mereka mungkin yang tidak memiliki atau tidak tahu siapa orang tua mereka. Ini yang menjadi salah satu penghalang besar kaum marginal masuk ke sekolah formal pemerintah. Mereka disingkirkan oleh sistem pendidikan kita yang masih jijik dengan manusia “kelas rendah”. Apakah memang keinginan mereka untuk menjadi anak terlantar? Apakah salah mereka ketika masih bayi mereka di buang oleh orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab? Apakah salah mereka ketika menjadi korban dari hancurnya sebuah keluarga? Kemana mereka akan berlari kalau bukan ke jalanan ketika semua orang menutup mata? Jangan salahkan mereka jika akhirnya mereka menjadi produk dari pendidikan jalanan. Dengan filosofi yang begitu sederhana yakni “kepedulian”, sekolah master hadir dan bergerak secara aktif merangkul tangan-tangan mereka yang terabaikan. “Melayani yang tidak Terlayani, Menjangkau yang tidak Terjangkau” sebuah slogan yang bukan saja terlihat indah tapi memang benar diwujudkan oleh sekolah master dan terasa nyata bagi mereka yang bersekolah di sana.

Sampai hari ini, sekolah master masih berjuang melawan kepentingan uang yang menggilas hak-hak anak jalanan untuk memperoleh pendidikan. Tersiar kabar bahwa tanggal 15 Januari nanti, sekali lagi sekolah master akan berjuang melawan besi-besi dingin yang akan merobohkan tempat mereka belajar. Hingga hari ini belum nampak ada itikad baik dari pihak pemkot maupun pengembang untuk melakukan relokasi bangunan SMP, TK, dan Asrama Guru jika memang ternyata benar penggusuran akan terjadi tanggal 15 nanti.

Mari peduli dan melawan!  #SaveMaster!

Arif Nur Ridwan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline