Lihat ke Halaman Asli

Ngomongin UN Bahasa Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

‘Pelajaran Bahasa Indonesia dianggap mudah’. Begitu pendapat media pada saat mendapati kenyataan bahwa nilai Bahasa Indonesialah yang membuat banyak para siswa kelas 12 tidak lulus. Kenyataanya? Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk menceritakan kembali pengalaman saya terkait dengan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin akan sedikit membingungkan karena tulisan ini adalah sesuatu yang keluar begitu saja dari kepala saya tanpa kerangka yang mantap.

Sekolah saya, SMA Negeri 1 Martapura, bisa dibilang cukup intensif terkait dengan menghadapi Ujian Nasional. Dengan atmosfir itu, para siswa juga ikut-ikutan terbawa dan belajar dengan ‘mati-matian’. Hal ini bisa dilihat dari perilaku teman-teman saya. Mereka yang dulunya hobi jalan-jalan, hang out atau sekedar nongkrong tidak jelas di sekolah sekarang berputar balik ke satu arah: belajar. Semakin mendekati tanggal-tanggal ujian, setiap saat bisa terlihat siswa-siswi yang sedang memegang buku-buku pelajaran, atau bolak-balik perpustakaan untuk melengkapi literatur yang dimiliki. Tiba-tiba jadi ada belajar kelompok. Padahal dulu kami selalu mengatakan bahwa kerja kelompok ujung-ujungnya hanya mengobrol saja, tapi ternyata tidak. Kami akhirnya bisa menahan diri dan bisa benar-benar belajar tanpa harus ngobrol.

Ujian Nasional benar-benar merubah karakter.

Setiap orang punya cara masing-masing dalam belajar. Ada sebagian yang tidak mau membagi cara belajarnya (mereka yang perfeksionis dan agak ambisius) dan ada juga yang sangat murah hati sehingga dia menjadi pentolan dalam urusan belajar. Biasanya si pentolan ini adalah orang-orang pintar yang mendapat peringkat di kelas. Orang-orang ini biasanya nyaris menguasai seluruh mata ujian: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Biologi (saya ‘penghuni’ kelas IPA 2).

Setiap kali jam mata pelajaran ujian tiba, biasanya kami sudah siap masing-masing dengan buku sembari menunggu guru mata pelajaran datang. Entah buku itu untuk latihan, atau bertanya kepada siswa yang dianggap lebih pandai. Ada juga yang membawa buku kesana kemari walaupun tidak dibaca. Intinya semua mempersiapkan, gugup dan khawatir.

Setiap mata pelajaran ujian juga punya atmosfir tersendiri. Matematika, misalnya. Guru kami adalah bapak Dirjo. Cara mengajar beliau membuat kami semua pada stress. Beliau menyuruh kami maju satu persatu dengan giliran sesuai urutan tempat duduk. Setiap orang mau tidak mau harus sudah mengerjakan dan harus sudah bisa. Kalau tidak ya, konsekwesinya beliau akan menyuruh membenarkannya. Nada suara beliau yang seram, membuat tambah grogi dan stress. Ah! Matematika.

Tapi kami lama kelamaan enjoy dan memang cara belajar begitu cukup efektif (tuh kan, bener-bener perubahan karakter, ditekan gitu malah enjoy)

Kemudian, Bahasa Indonesia (our case). Dari semua mata pelajaran, Bahasa Indonesia yang paling ribet. Tidak seperti pelajaran lain yang eksak, Bahasa Indonesia menuntut kemampuan kami untuk menganalisis lebih dalam daripada pelajaran yang lain.

Dari semua pelajaran, pelajaran Bahasa Indonesia yang paling membuat urat kami kencang. Pasalnya? Setiap soal jawaban tidak pernah langsung seragam. Kami semua selalu mempunyai jawaban berbeda-beda. Masing-masing dengan alasan yang berlainan. Hal ini sering kali memicu perdebatan yang kadang tidak ada akhirnya (untung tidak pernah sampai debat kusir). Bahkan ada teman saya yang ijin kebelakang sampai debat selesai karena ingin menghindari perdebatan yang menurutnya tidak bermutu. Satu setengah jam belajar Bahasa Indonesia, sering kali kami hanya bisa menjawab 5 soal. Susah sekali. Kadang akhirnya kami jadi bingung kesimpulannya apa di setiap soal.

Ada kunci jawaban memang, tapi kami merasa kunci jawaban itu juga tidak selalu pasti benar. Guru kami juga setuju dengan hal ini. Kami sering pada akhirnya menemukan kesimpulan-kesimpulan logis terkait dengan jawaban soal-soal latihan Ujian yang akhirnya jawabannya sama sekali beda dengan kunci jawaban.

Guru pengajar bahasa Indonesia kami, Ibu Suparti, cukup mahir dalam menghadapi murid-murid yang panas terbakar semangat dalam berdebat dan beliau memliki cukup pengetahuan serta literatur untuk membantu kami mencari kebenaran (jadi kayak kasus century aja...). Jika beliau juga tidak yakin, biasanya soal akan ditampung dan beliau akan mendiskusikan atau bertanya dengan guru lain atau ahli bahasa. Yah, guru seperti ini memang yang diperlukan untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

Setelah mengamati kejadian ini selama beberapa lama, akhirnya kami menyadari satu hal. Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sulit. Malah bisa saja dibilang Bahasa Indonesia lebih sulit daripada Matematika. Kenapa? Karena tidak ada yang pasti. Setiap orang bisa jadi menjawab benar karena memiliki alasan masing-masing.

Salah satu jenis soal yang menurut kami sulit adalah jika sudah berkaitan dengan sastra, seperti disuruh mencari amanat dari penggalan hikayat, atau maksud dari kata-kata dalam puisi. Kami semua punya banyak penafsiran. Tentu saja yang dicari adalah yang paling benar. Tapi, masalahnya adalah semua orang seakan-akan merasa yakin jawabannya benar atau ada yang memiliki jawaban benar tapi sulit untuk mengkomunikasikannya.

Kami sering bercanda kalau sudah benar-benar mentok, tidak bisa menyeragamkan pendapat dan berkata : mestinya Bahasa Indonesia nggak usah dimasukkan ke Ujian Nasional.

Soalnya, kata guru saya, Bahasa Indonesia itu sangat luas, merupakan pelajaran yang bisa membuka berbagai macam pendapat. Hal itu benar menurut saya. Contohnya saja, penulisan surat lamaran kerja ada berbagai macam jenis. Setiap guru mempunyai berbagai macam konsep yang biarpun seragam tapi bisa memiliki aspek-aspek yang berbeda yang kemudian bisa membuka pemikiran-pemikiran baru.

Sulit sekali. Bahasa Indonesia itu sulit sekali. Mempelajarinya juga sulit, biasanya saya harus ke sana ke mari mencari referensi untuk menjawab satu soal saja. Yang jadi masalah: jawabannya tidak tentu ada di buku. Kemampuan untuk analisis benar-benar diuji dalam kumpulan kalimat-kalimat yang kompleks.

Memang sih, ada soal-soal tentang tanda baca atau hal-hal lain yang memang sudah ditetapkan. Tapi tetap saja, soal-soal yang lain benar-benar menjadi rintangan untuk lulus.

Kemudian pagi ini saya mendengar media mengatakan bahwa Bahasa Indonesia dianggap gampang oleh siswa. Saya jadi kepikiran. Apa memang begitu, setelah apa yang telah saya lalui ini.

Dan jawabannya ternyata: benar. Bahasa Indonesia, yang padahal sudah jelas sulit itu, dianggap gampang. Buktinya? Pada hari pertama Ujian, teman-teman lebih fokus belajar Biologi daripada Bahasa Indonesia. Saat saya iseng-iseng bertanya, kenapa tidak belajar Bahasa Indonesia, teman saya, Buyung berkata, “Bahasa Indonesia udah pasrah deh. Mau belajar gimana juga tetap aja jadi masalah di dalam. Jadi entar di dalam kita analisis deh, mati-matian.”

Hebat benar teman saya itu (no offense ya Buyung, hoho).

Bolehkah jika kemudian kita ambil kesimpulan: Bahasa Indonesia sekilas dianggap susah, padahal sebenarnya sangat sulit? Tapi setelah menyadari bahasa Indonesia sulit, akhirnya sebagian siswa pasrah dan akhirnya menggantungkan masa depan dengan kemampuan analisis soal yang mengakibatkan nilai Bahasa Indonesia pas-pasan?

Mungkin saja. Kenyataannya memang ada berbagai macam jenis siswa. Bisa saja ada yang lebih intensif belajar bahasa Indonesia karena penasaran dengan jawaban yang sebenarnya dari soal-soal. Atau mungkin sebenarnya faktor malaslah yang mengakibatkan nilai Bahasa Indonesia rendah (malas membaca wacana yang banyak dalam setiap soal). Ada berbagai alasan yang mengakibatkan nilai Bahasa Indonesia jadi masalah. Tapi buat saya, yang telah saya paparkan tadi adalah yang telah saya temui.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline