Lihat ke Halaman Asli

Nasib di Negeri Sebrang

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepulangan anak tercinta ke kampung halaman telah mengakhiri kesedihan dan kegelisahan keluarga. Seorang Gadis yang telah lama dinanti kabarnya, kini telah di depan mata. Kisahnya mengundang tangis warga. Isak tangis bercampur gembira warga menyelimuti rumah Sumini. Luapan tangis miris karena kisahnya yang sungguh tragis. Gembira lantaran terbebasnya dari cengkraman kisah kejam di Negeri tetangga. Bertetes-tetes air mata hangat mengalir di setiap pipi orang yang berdatangan. Dengan penuh rasa kasih, Sumini merangkul anaknya sambil mengusap air matanya yang tak sengaja membanjiri pipinya.

”Astuti?”

Iya, Astuti namanya. Ia adalah gadis yang masih muda belia, berusia 18 tahun. Lantaran terhimpit ekonomi yang serba kekurangan menjadi pemicu untuk mengakhiri sekolah, dan kemudian memutuskan untuk bekerja sebagai TKW seperti gadis-gadis di desanya. Sebelumnya, tak terbayangkan semua ini bakal terjadi.

”Apa kamu sudah yakin mau bekerja di Luar Negeri?,” tanya Sumini ragu saat ia berencana ingin bekerja di Negeri seberang.

”Cari kerja disini susah, Bu!” jawab Astuti sambil memegang tangan ibunya yang terasa kasar. Ia menatap wajah ibunya. Tak disangka air asam mengalir di pinggir hidungnya. Karena sebentar lagi ia akan meninggalkanya beberapa tahun.

”Daripada mengganggur di rumah, mendingan bekerja agar lebih meringankan ibu”

”Kalau itu memang sudah menjadi tekadmu, Ibu hanya bisa mendoakan,” tukas ibunya penuh harap. ” jika kamu sudah bekerja, jangan lupa berdo’a di setiap tengah malam. Doa ibu selalu menyertai langkahmu, nak!”

”Terimakasih, Buk. Aku tidak akan melupakan nasehat ibu”

” Ibu akan senang kamu di sana baik-baik aja”

Setelah mendapat restu Ibunya, Astuti semakin yakin akan pergi ke Negeri sebarang. Tapi, ia tidak bisa seketika itu berangkat karena harus menunggu proses perizinan. Karena melalu makelar TKW, jadi ia tidak usah terlalu ribet dengan urusan perizinan, tinggal menunggu panggilan dari pihak Biro TKW.

Kenekatanya adalah modal utama Astuti. Meski sebelumnya belum mengenal situasi di sana, tak sedikitpun menyiutkan kenekatan Astuti. Modal informasi disertai iming-iming dari pihak biro dengan slogannya “kerja cepat uangpun cepat didapat” melenakan hati Astuti. Tawaran gaji pun cukup besar.

“Di luar negeri kan nilai tukarnya besar, aku pasti bisa memenuhi cita-citaku untuk membiayai sekolah adikku, meskipun sebagai pekerja ala kadarnya,” optimisme dalam hatinya. Niatan itulah yang membangkitkan semangat tinggi Astuti, tanpa berpikir panjang akan resiko yang dihadapi di kemudian waktu.

***

Dua bulan terlewati. Ia menjalani kerjanya sebagai pembantu rumah tangga di salah satu perumahan mewah. Awal yang menyenangkan bisa hidup di rumah mewah meski berperan sebagai pembantu. Jika dibandingkan dengan rumah tempat asal dia tinggal amatlah jauh. Rumah asalnya hanya bertembokkan kayu yang mulai rapuh, sedangkan yang ditempati sekarang bertembok kokoh dengan desain indah dan berhiaskan pernik-pernik yang cantik nan elok.

Tapi awal yang menyenangkan belum tentu selamanya membawa keberuntungan. Sedikit merasakan senang, gembira, berbunga, tiba-tiba berlipat-lipat sengsara, derita menghampiri. Sejenak berteguk es jeruk berlama meneguk serbuk. Bisa dibanyang dalam kehausan meneguk serbuk. Ia mulai dirundung penderitaan. Tangisan hati menjadi rutinitasnya sehari-hari. Ratapan yang tak pernah berujung kegembiraan, justru berujung hinaan dan kesengsaraan.

”Hai....Kamu sebagai pembantu, jangan jadi pemalas,” bentak Majikan mengagetkan Astuti yang tengah beristirat karena seharian harus mengurusi dua anak majikan, belum lagi membersihkan semua isi rumah yang besar itu.

Entah apa salah manusia lemah yang selamanya harus diperlemah hingga tak ada hentinya. Di bawah justru semakin rendah. Kejadian yang menusuk hati itu kerapkali hadir dalam diri Astuti. Cercaan, hinaan, kata-kata kotor kerap melayang ke telinga Astuti. Bahkan terkadang sampai kepalan tangan keras melayang di punggungnya, pipinya, dan kepalanya hingga tak ada tubuh yang tak tersentuh oleh tangan jahil Majikannya.

”Lemah bukanlah kunci menyerah,” semangat Astuti dalam hatinya.

”Tapi apakah harus bertahan dengan kelemahan seperti ini, yang hanya membawa penderiaan. Derita dan derita selalu mengancam hati dan pikiran. Tapi, lagi-lagi apa daya orang yang lemah. Tabahkan hati sekeras badai adalah satu-satunya senjata terampuh untuk melerainya.”.

”Prak...prak...,” lagi-lagi tamparan dan pukulan sebilah tongkat kecil meluncur ke tubuh Astuti.

”Apa salah saya, Pak?” ujar Astuti membela diri.

Tak ada kata yang meluncur dari mulut majikanya, justru pukulan sebagai jawabanya.

Entah setan mana yang merasuki majikanya itu sampai-sampai ia lupa kalau sedang berhadapan dengan manusia yang tak berdaya. Manusia yang seharusnya dilindungi. Anehnya, ia mengatakanya dengan berdalih legitimasi agama. Apakah hanya menutup-nutupi hati busuknya agar tidak kentara akan kekejamanya.

Kini Astuti hanya meratapi nasibnya, sejuta alasanpun tak digubrisnya. Sikap majikan yang tak kalah Raja kejam. Yang ada adalah hitungan berapa pukulan lagi yang akan diterimanya. Tubuh mulus Astuti kini memerah biru. Sakit perih lama-lama tak dirasakanya lagi saking seringnya menimpanya. Tapi, manusia tetap manusia, tentunya ia sangat menderita kesakitan.

Kekerasan menjadi pandangan sehari-hari Astuti. Pilu kesah silih berduyun berdatangan. Canda tawa dan gembira tak pernah lagi menyapa. Sapaan adalah pedang yang tak segan-segan menyayat tubuhnya. Apakah kematian adalah sebuah pintu menuju kebahagiaan. Karena kehidupan selalu bersahabat dengan penderitaan dan penindasaan.

”Aku harus kuat. Kematian justru mengehentikan segalanya. Kehidupan memang harus dihadapi dengan penuh harapan kebahagiaan yang menantinya di depan”.

Semakin memperburuk keadaan Astuti lantaran upah kerjanya tak kunjung ia dapatkan selama hampir tujuh bulan. Hanya makan dan minum sehari-hari. Itu saja ia harus berhadapan dengan aneka pengekangan dan kekerasan. Ia hanya mampu menerima dengan hati membaja karena tak kuasa mengelaknya. Berkali-kali ingin kabur pergi namun langkahnya terhenti, tak berani.

” Aku berada di Negeri Orang, tak seorangpun yang kukenal. Aku harus mengadu kepada siapa?. Kepada Tuhan kah?. Tuhan pastinya melihat apa yang menimpa diriku, tapi tak ada jawaban darinya. Tak mungkin aku bisa lari tanpa sedikitpun biaya terhimpit jari.” keluh Astuti kesekian kalinya..

Ia benar-benar kehilangan akal sehat. Akal tak mampu menalar lantaran kekangan dan ancaman yang selalu bergelanyut di kepalanya. Memang Awalnya ia masih bisa berkomunikasi dengan teman dekatnya. Tapi itu dulu ketika awal bekerja. Selang tiga bulan ia kehilangan kontak denganya. Kemankah ia harus mengadu?.Entah nasib lah yang akan menjawabnya.

***

Rindu tebal menyelimuti keluarga Astuti. Ibunya, Sumini, selalu bertanya-tanya dalam hatinya atas nasib anaknya yang tujuh bulan lewat tak ada kabar darinya. Lebih-lebih kedua adiknya yang berharap sokongan biaya sekolah. Sebelumnya, setiap bulan Astuti selalu mentransfer uang secukupnya untuk membiayai kedua adiknya, namun itu berlangsung selama dua bulan saja. Selanjutnya tanpa kabar dan tanpa uang yang menghampiri keluarganya.

”Ayah Astuti?”

”Masih hidup kah?”

”Tidak”. Ia sudah meninggal dua tahun sebelum keberangkatan Astuti ke Luar Negeri. Ayahnya, Marwi, tidak seperti nasib rekan kerja lainya. Ketika ayahnya bekerja di sebuah gedung bertingkat di sebuah kota di daerahnya, nasib berkata lain. Ia terjatuh dari ketinggihan gedung. Tubuhnya tertimpa besi yang ditumpanginya hingga terbentur kepalanya dan seketika itu pun Ruh melambai mengucapkan salam perpisahan dengan tubuhnya.

Kematian Marwi menyisakan duka yang mendalam bagi keluarganya. Satu-satunya sumber kebutuhan ekonomi sehari-hari bagi keluarganya telah terhenti. Dengan meninggalkan ketiga anaknya yang masih belum mandiri lantaran masih di bangku sekolah menjadi kegelisahan bagi Sumini. Sumini tak habis pikir ini akan menimpa dirinya. Tapi apa guna air mata. Tetesanya tak bakal membuahkan uang untuk kebutuhan seharinya.

***

Kerinduan demi kerinduan juga dirasakan oleh Astuti. Rindu yang terhalang jarak rasanya susah tersampaikan. Ingin pulang namun harus berperang melawan samudra luas dan dalam. Harapan yang tak kunjung usai didapatkan menumpuk dan menggulung menjadi lautan lamunan dalam pikiran.

Di tengah suasana terkekang tak ada biaya untuk pulang hanya doa sebagai harapan. Do’a demi do’a ia dendangkan hanya satu permintaan ”pulang dan pulang”. Karena tak kuasa menahan perihnya siksaan di Negeri Orang. Harapan awal uang jutaan kini melebur menjadi kepedihan dan kepahitan.

Sumini juga tak habis-habisnya meneteskan air matanya di tengah malam gelap nan sunyi. Hatinya mengeras besuara mengadu pada Tuhannya dan bertanya-tanya kenapa nasib keluarganya seperti ini, apakah kita manusia-manusia pilihan yang sengaja diuji kesabaranya.

Selain do’a juga berbagai usaha ia lakukan. Terlintas dalam pikiran Sumini untuk menanyakan kepada pihak berwenang mengurusi masalah TKW. Sebenarnya banyak usulan yang diutarakan padanya oleh tetangganya untuk mengurskan pada pihak Biro Kerja Luar Ngeri, karena urusanya terlalu dibelit-belitkan itupun tak gratis sehingga enggan menyampainkanya.

Tapi, berkat do’a dan usaha kini telah nyata. Jutaan kata harapan dalam benak Astuti kini menjadi kenyataan. Pulang ke kampung halaman. Mengundang isak tangis mendalam disertai luapan kegembiraan. Semoga tak terulang kedua kali.

Yogyakarta,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline