Lihat ke Halaman Asli

David Greene dan Ke Yahudi-annya

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_67437" align="alignleft" width="300" caption="Foto"][/caption]

Sepanjang memori penulis, ada dua film yang mengggambarkan dengan jelas, the suffering of Jewish, alias penderitaan menjadi seorang Yahudi. Yaitu film yang berjudul “The History of a Boys” yang resensinya ada dalam blog ini dan film yang pekan ini saya tonton yakni “School Ties”. Film garapan sutradara Robert Mandel ini menceritakan liku kehidupan seorang David Greene yang bersekolah di sekolah Preparatory St. Mathews, sekolah khusus yang dipersiapkan bagi yang ingin masuk ke universitas-universitas Ivy League (Semisal Harvard, Yale, MIT dll).

Dan rupanya, Greene bukanlah berasal dari golongan orang kaya yang bisa masuk ke sekolah protestan tersebut. Greene hanyalah remaja keturunan Yahudi yang berasal dari kalangan buruh di kota penuh bandit Scranton. Yang membuat istimewa adalah dia cerdas dan berbakat dalam bidang football. Dan berkat program beasiswa, Greene akhirnya bisa masuk ke sekolah itu dan bergaul serta belajar dengan tradisi Protestan.

Film ini sesungguhnya hanya ingin menceritakan bagaimana susahnya menjadi seorang Yahudi, baik di Amerika maupun di Eropa pada zaman itu. Istilah anti semitik masih sering digunakan para siswa untuk menunjukkan kalau dia anti Yahudi. Dan Greene tahu bahwa menjadi Yahudi serta menunjukannnya pada orang-orangdi sekolah sama saja dengan membatasi dirinya. Inilah yang membuat Greene akhirnya menjadi orang pasif. Dia pergi ke gereja namun hanya diam, menyelinap setiap malam untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya. Bahkan ada satu percakapan yang membuat Greene akhirnya benar-benar harus menyebunyikan identitas dirinya. Yakni ketika Dillon (diperankan oleh Matt Damon) menanyakannya “kapan kamu mandi”. Greene yang diperankan dengan baik oleh Brendan Fraser terpaksa harus menanggalkan kalung beremblem Yellow Star, Bintang David berwarna kuning yang menjadi ciri khas orang Yahudi.

Membicarakan Yellow Star mengingatkan penulis akan kisah menakjubkan seorang gadis remaja bernama Anne Frank. Anne yang masuk dalam 100 tokoh berpengaruh abad 21 versi TIME menjelaskan bahwa orang Jerman yang membawa symbol yellow star sudah pasti seorang Yahudi dan harus siap-siap jika suatu saat digelandang masuk kamp konsentrasi. Peristiwa Holocaust, dimana Hitler membunuh jutaan warga yahudi di kamp konsentrasi membuat semua orang Yahudi mengenang akan arti penting Yellow Star itu. Meneguhkan identitas akan ke-Yahudiannya.

Tagline film yang berbunyi “Just Because You’re Accepted Doesn’t Mean You Belong” seakan menegaskan betapapun seorang Yahudi mampu menyembunyikan identitas dirinya agar diterima di lingkungan protestan, jikalau ia seorang Yahudi, maka ia tetap Yahudi dan tidak akan pernah menjadi bagian dari komunitas protestan. Itulah yang ditunjukkan dalam film ini. Ketika Greene akhirnya menjadi bintang sekolah dengan mencetak skor touchdown yang membuat St Mathews menang dari St Luke, Greene disanjung dimana-mana. Dikenal para dewan sekolah, pemilik dana hingga siswi-siswi St Mathews.

Dipenghujung kemenangannya itulah justru awal dari kepelikan masalah Greene. Dillon yang merupakan siswa paling popular di sekolah karena garis keturunannya, merasa terancam oleh Greene walau sesungguhnya mereka bersahabat. Dillon merasa posisinya sebagai headquarter diambil oleh Greene, pacarnya yang cantik Sally, juga diambil Greene hingga koneksinya ke petinggi sekolah juga diambil oleh Greene. Kejengkelannya memuncak ketika Dillon tahu bahwa Greene adalah seorang Yahudi.

Dimulailah isu-isu dan anekdot-anekdot mengenai Yahudi yang membuat Greene akhirnya merasa tersisihkan dari lingkungannya. Semua temannya tidak termasuk roommate, membencinya bahkan pacarnya Sally pernah di ejek oleh kawan-kawannya sesama siswi di St Mathews.

“Everybody’s asking me what it’s like to kiss a Jew”

"setiap orang menanyakanku bagaimana rasanya mencium seorang Yahudi, apakah hidungnya menghalangi".

Pada akhirnya, film ini memberikan nilai bahwa, baik buruknya kita tidak ditentukan apakah dia seorang Yahudi atau Protestan atau Muslim. David Greene mampu membuktikan bahwa walaupun ia Yahudi ia tetap berprestasi. Walau seribu rintangan menghadangnya, ia akan tetap berdiri memperjuangkan kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline