Lihat ke Halaman Asli

Jangan Salah Menilaiku

Diperbarui: 9 April 2019   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh: La Ode Muhamad Sauf (Guru SMAN 7 Kendari)

Suatu malam yang sepi, tak ada lagi gemuruh aktivitas manusia tiba-tiba aku mengenang mereka. Mereka yang dulu bersamaku terjun dalam dunia politik praktis memperjuangkan pilihan untuk sebuah sukesei pemilihan gubernur. Aku dan mereka ikut bergabung dalam satu tim keluarga, yakni Parraikate Team. Tim berjumlah lima orang dan di dalamnya ada seorang perempuan hebat. Hebat karena dari tampilannya terlihat dia adalah seorang yang ulet, gigih, dan sabar, bahkan dari sorot matanya terlihat santun, rendah hati, dan peduli pada siapa pun. 

Namanya Icca. Ia berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia bekerja sebagai salah satu staf Dinas Kesehatan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pertama kali aku mengenalnya sempat berdecak kagum. Icca mengenakan pakaian sederhana, namun ia memiliki paras yang cantik. Alisnya tebal dan tampak berkumis tipis. "Wah ini kembaran Iis Dahlia karena kumisnya mirip dengan salah seorang dewan juri Dangdut Academy" gumamku dalam hati.

Kekagumanku pada Icca ternyata juga dirasakan oleh Pian, teman yang duduk di sampingku. Saat itu, aku bersama anggota Tim Paraikatte ikut dalam rombongan sosialisasi calon gubernur di Kabupaten Kolaka, tepatnya di Kelurahan Wolo. Mobil yang kami kendarai memuat empat orang, yakni aku, Pian, Mardan, dan Icca. Sepanjang perjalanan menuju Wolo terjadi senda gurau dan canda tawa yang menghangatkan suasana hingga perjalanan selama kurang lebih 4 jam tak terasa menjenuhkan.

Sepanjang perjalanan itu, tak sengaja aku mengalihkan pandangan pada Icca yang duduk di samping sopir. Aku manfaatkan kesempatan itu untuk bertanya pada Icca, sekadar pengen  tahu saja, seperti apa responsnya.

"Maaf Icca, kita ke Wolo ini nginap di rumah siapa?" tanyaku.

"Tenangmma Ka... kita nginap di rumah keluargaku" keluar dialek Kajjangnya.

Teman-temanku ikut senang mendengar jawaban Icca.

  Icca memang tidak banyak berkata-kata, ia hanya duduk diam dan sekali-sekali tersenyum mendengar cengkrama kami dalam mobil. Pian yang saat itu duduk di sampingku tiba-tiba menyela sambil menyebut namaku dan memintaku untuk  bercerita agar suasana cair dan hilang rasa kantuk.

"Rif ...." demikian Pian memanggil namaku.

"Ya, ada apa Pian?" tanyaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline