Lihat ke Halaman Asli

Uka Whardhana

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam

Kita dan Terorisme

Diperbarui: 29 Maret 2021   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya rasa kita semua sepakat dalam menolak segala bentuk kekerasan dan pembunuhan yang digaungkan atas nama apapun, terlebih lagi tindakan tersebut sering terjadi  dengan mengatasnamakan agama. Kita sering menyebutnya aksi terorisme.

kita semua pasti tidak bisa menerima tindakan terorisme tersebut, karena itu mencederai akal sehat dan nurani yang kita miliki. Buktinya kita akan merasa resah, bertanya-tanya dan bahkan hati kita bisa terluka setiap kali terjadi tragedi berdarah, salah satu kasusnya aksi bom bunuh diri.

Bunuh diri diselimuti kebengisan dan mempunyai hasrat membunuh orang (kelompok) lain bukan menandakan si pelaku adalah orang beragama, yang menjunjung tinggi religiusitas. Nampaknya, si pelaku sejatinya hanya memenuhi ego dogma yang diambil, dalam artian bukan diberikan, sehingga yang terjadi keliru dalam memahami suatu perkara. Atas tindakannya tersebut saya yakin si pelaku merasa benar dan bangga akan perbuatannya, berharap mendapat balasan kebaikan sesuai dengan apa yang diyakininya.

Saya juga tidak menyetujui anggapan segelintir orang bahwa aksi terorisme ini motifnya adalah ajaran agama, terutama diarahkan pada agama Islam. Sebab saya pernah membaca, bahwa tindakan terorisme itu tidak tepat dikaitkan dengan agama apapun, karena semua agama tidak mengamini segala bentuk tindakan yang mencederai nama kemanusiaan. Tidak mungkin orang-orang yang beragama dan taat beribadah dapat melakukan tindakan demikian, malah seharusnya identitas religiusitas itulah yang akan memproteksi diri dari paham teroris.  

Saya juga pernah membaca di artikel Insists yang berjudul, "Radikalisme: apa dan bagaimana sebenarnya",  dikatakan bahwa orang-orang yang mudah terpapar paham radikal atau teroris, adalah orang yang sejatinya kurang pendidikan, kurangnya literasi agama dan bimbingan agamawan.

Namun yang mau saya petik pelajaran dari tindakan si pelaku atau terorisme yaitu, perasaan 'merasa benar sendiri', itulah mengapa merasa benar sendiri bukanlah suatu hal yang baik, dan meskipun kita berada di jalan yang benar bukan berarti kita berhak melakukan apa saja kepada orang lain, apalagi sampai menghina dan menghakimi.

Saya pribadi mengakui kadang dalam suatu waktu dan suatu hal merasa benar sendiri, tidak mau disalahkan bahkan menuduh orang lain salah. Saya merasa jadi teroris hanya saja dalam model tindakan yang berbeda. Merenung, ternyata pribadi masih perlu banyak belajar lagi, masih harus mengenyam pendidikan yang lebih jauh dan dalam lagi. Pendidikan spiritual, emosional, dan intelektual harus selalu dirajut semaksimal mungkin. Karena jika tidak demikian, bisa jadi saya atau kita semua bisa menjadi teroris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline