Lihat ke Halaman Asli

Pertarungan Pajak Air Permukaan antara Provinsi Riau dan Sumatera Barat

Diperbarui: 24 Oktober 2021   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini terjadi polemik antara Provinsi Riau dan Sumatera Barat terkait PLTA Koto Panjang. PLTA Koto Panjang atau Pembangkit Listrik Tenaga Air Koto Panjang, merupakan salah satu pembangkit listrik bertenaga air, yang berada di kabupaten Kampar, Riau. Waduk ini mendapat pasokan air utama dari Sungai Kampar dan Sungai Batang Mangat yang berhulu di propinsi Sumatra Barat (PLN, 2002).

Permasalahan ini diawali dengan dikeluarkannya surat nomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan PLTA Koto Panjang oleh Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri. Menurut surat tersebut, seluruh pendapatan Pajak Air Permukaan dari PT PLN menjadi hak Provinsi Riau. Padahal sebelumnya pendapatan ini dibagi dua dengan Provinsi Sumatera Barat.

Provinsi Sumatera Barat tidak terima dengan surat yang dikeluarkan oleh Kemendagri yang menyatakan bahwa Pajak Air Permukaan sepenuhnya adalah hak Provinsi Riau. Berbagai pernyataan dilontarkan Pemerintah Daerah Sumatera Barat atas ketidaksetujuannya dengan surat Kemendagri tersebut. Salah satunya mengingat sejarah pembangunan PLTA Koto Panjang dan pengorbanan masyarakat Sumatera Barat atas tenggelamnya 11 Nagari atau Desa di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Masyarakat Sumatera Barat juga berjuang sampai ke Jepang untuk mendapatkan dana pembangunan waduk tersebut.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengatakan bahwa terdapat daerah tangkapan air (DTA) di Koto Panjang seluas 150.000 hektar yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara di Danau Koto Panjang. Artinya, sumber air Waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat. Selain itu, Provinsi Sumatera Barat juga melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sebanyak kurang lebih Rp2.000.000.000 per tahun dari APBD Provinsi Sumatera Barat.

Jadi, siapakah yang berhak memungut Pajak Air Permukaan tersebut, Provinsi Riau atau Provinsi Sumatera Barat, atau bahkan kebijan bagi hasil itu lebih tepat?

Pajak Air Permukaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak Air Permukaan adalah pajak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. Air yang dimaksud disini adalah air yang berada di permukaan tanah dan tidak termasuk air laut. Pajak ini merupakan salah satu pajak daerah yang menjadi wewenang pemerintah provinsi. Pajak Air Permukaan dikenakan pada orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

Besaran Pajak Air Permukaan yang dibayarkan ditetapkan oleh peraturan daerah dengan Perhitungan Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP) yang meliputi jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pemanfaatan air, volume air yang dipakai, kualitas air, luas area pemanfaatan air, dan tingkat kerusakan akibat pengambilan air dari sumbernya. Berdasarkan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), besaran tarif pajak air permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Beberapa provinsi di Indonesia menggunakan tarif tertinggi untuk Pajak Air Permukaan, begitu juga dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Menurut Peraturan Gubernur Riau dan Peraturan Daerah Sumatera Barat besaran tarif untuk Pajak Air Permukaan adalah 10%

Polemik antara Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Barat ini berawal dari Surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri nomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang pada point nomor 3 menyebutkan bahwa Hulu dan Hilir dapat dipandang sebagai satu kesatuan Sumber Daya Air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan, dalam hal ini adalah Riau.

Menurut UU PDRD pasal 25 ayat (2), Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada. Berdasarkan kasus ini, PLTA Koto Panjang terletak di Kabupaten Kampar, Riau dan yang memanfaatkannya adalah masyarakat disekitar PLTA tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa sebenarnya yang berhak memungut Pajak Air Permukaan itu Provinsi Riau karena PLTA tersebut airnya bersumber dari Sungai Kampar yang juga berada di Riau. Walaupun pada kenyataannya, Sungai Kampar ini berhulu di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Sumber:

  • Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline