Memang paling nikmat berada di tengah keramaian, ya kan? Gak akan ada yang tau kehadiran kita. Gak ada yang peduli siapa kita. Setiap orang menikmati urusannya masing-masing, tapi saya pribadi menikmati itu. Yang syukurnya sampai sekarang saya belum pernah kecopetan.
Apalagi ketika di tengah keramaian kita sambil membaca perilaku manusia, itu juga sesuatu yang tak kalah nikmatnya. Membaca, berusaha memahami, dan secara otomatis berkaca pada orang lain. Sampai akhirnya menemukan kegagalan diri sebagai seorang manusia yang sama sekali belum mengubah apapun, apalagi memberi kebaikan pada kehidupan yang entah semakin baik atau sebaliknya, walaupun tak salah juga kalau kita menilai kehidupan ini semakin buruk. Setidaknya itu yang saya alami dan temukan di tengah keramaian; di luar sana, dimana segalanya begitu cepat bergerak.
Entah kapan kita akan meramaikan lagi jalanan di luar sana tanpa perlu khawatir terkena virus. Entah kapan kita kembali kepada normalitas yang dulu, dimana kita menomorsatukan kesenangan, ke-banjingan-an, kepentingan, ketidaktahumaluan kita dan segala macam kenikmatan hidup lainnya. Karena kenikmatan itu bukan cuma soal sesuatu yang baik-baik saja, kan? Dalam hal keburukan-keburukan pun ada kenikmatan di dalamnya. Harus kita akui itu. Harus kita sepakati.
Jadi, kapan akan berakhir pandemi ini? Juni mendatang, sebagaimana prediksi yang dikatakan para pengamat-pengamat? Menunggu sampai virus ini benar-benar lenyap atau setidaknya melemah dan tak kuat lagi menembus imun kita, yang itu entah kapan terjadinya? Sayangnya, setau saya sampai sekarang tak ada pula yang punya prediksi kapan masyarakat akan patuh dan berdamai dengan aturan social distancing, PSBB atau aturan-aturan semacamnya.
Sampai kapan? Sampai bantuan benar-benar tersalurkan dan tepat penerimanya? Sampai orang-orang kaya juga dapat bantuan? Sampai isi bantuannya tidak hanya mencukupi kebutuhan tapi juga memuaskan keinginan? Sampai pemerintah menyediakan internet gratis supaya kita tak merasa suntuk di rumah terus? Apa iya bisa menjamin? Atau sampai apa? Tapi, siapa pula yang bisa memprediksi kapan masyarakat benar-benar mau patuh? Namanya juga orang Indonesia, ya kan
Nyatanya, masalah utama penyebaran virus ini bukan lagi pada virusnya itu sendiri, melainkan pada manusia. Sejak kemunculannya, kapan kita menyalahkan virus itu sendiri? Karena kita tau bahwa virus ini tidak bisa disalahkan dan tak ada pantas-pantasnya untuk disalahkan. AS menyalahkan Cina, Cina menyalahkan AS, bahkan dalam sebuah berita Cina juga pernah menyalahkan Indonesia sebagai asal mula virus Corona ini.
Tapi, bisa saja virus ini muncul lantaran sebab-akibat perbuatan kita, walaupun secara tak langsung dan walaupun bukan sengaja dibuat orang lain. Ini bukan teori. Hanya keyakinan pribadi terkait perbuatan kita di muka bumi dan hubungan kita dengan Tuhan yang sudah pasti akan selalu ada rantai kausalitasnya. Ada semacam kausalitas yang sudah pasti kita terlibat di dalamnya, yang itu entah kapan dan dimana, sehingga kemudian akibat itu muncul jauh di kemudian hari, sekarang. Sebagaimana bencana alam yang muncul tiba-tiba dan seolah kita sama sekali tak bersalah di balik kemunculannya.
Rupanya kita harus mau untuk membaca manusia dan keadaan dimana kita berada di dalamnya. Kalau manusia adalah pengurus kehidupan yang kita bilang ini semua adalah titipan Tuhan, dimana dan kapan kita terlepas atau sama sekali tak terlibat dari segala hal yang terjadi sekarang? Bahkan walaupun sebuah bencana datang langsung dari Tuhan, ternyata itu pun di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan manusia. Manusia pasti punya dosa, punya keburukan, punya kesalahan, dan pantas saja kalau selalu disalahkan walaupun sangat sedikit orang yang merasa punya salah, dan menyalahkan orang lain adalah lebih nikmat daripada menyalahkan diri sendiri. Harus kita akui itu. Harus kita sepakati.