Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Hamba yang Bukan Hamba

Diperbarui: 9 Maret 2018   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: indimu.com

Kalau banyak orang menyebut dirinya sebagai hamba, ya itu silahkan-silahkan saja. Hal demikian memang benar, karena setiap manusia maupun ciptaanNya yang lain, adalah hamba-hamba yang mesti patuh kepadaNya. Secara identitas, setiap diri manusia adalah hamba Tuhan.

Tapi entah kenapa saya pribadi sampai sekarang malu untuk mengatakan diri saya 'hamba'. Barangkali karena kata 'hamba' bukanlah sekedar identitas belaka, bagi saya. Dia lebih pantas dikategorikan sebagai kata kerja atau kata sifat. Saya tentu merasa tak tahu diri menyebut diri saya 'hamba' kalau saya tidak menghamba dengan baik. Bagaimana kualitas penghambaan atau kehambaan seseorang, yang pasti tahu hanyalah Tuhan. Mana lagi yang menjadi usaha kita kalau bukan untuk berusaha menghamba dengan sebaik-baiknya?

Penghambaan menjadi suatu kemestian. Tapi, kalau kita lihat dari perspektif kemanusiaan, kita juga harus pahami kalau menaati perintah Tuhan bukanlah paksaan, melainkan pilihan. Tak ada satu pun orang yang berhak memaksa orang lain untuk beribadah. Beribadah, dan pilihan untuk beribadah atau tidak beribadah, hal itu merupakan hak asasi manusia. 

Bagi yang mengetahui konsekuensi di balik perintah beribadah, biarlah itu menjadi pegangan baginya sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Penciptanya. Tapi bagi orang yang tak mau tahu, tak perlu kita berlelah-lelahan untuk memperingatkannya. Karena kalau sudah tak mau tahu, itu merupakan ketertutupan diri dimana dia menutup rapat segala indera, termasuklah pikirannya, akal sehatnya.

Barangkali ihwal penghambaan ini juga memiliki persepsi-persepsi yang berlainan. Ada yang sekedar menghamba dengan niat semata-mata atas perintah Tuhan. Ada juga yang menyadari eksistensi dirinya sehingga penghambaan kepada Tuhan dimaknai bukan hanya sekedar keharusan, tapi juga kebutuhan. Kesadaran semacam itu tak lepas dari tahap-tahap intelektual dan spiritual seseorang. 

Tapi bukan berarti saya menilai keliru orang-orang yang sekedar menuruti perintah Tuhan seperti yang sudah disebutkan tadi. Kalau suatu perintah itu baik dan merupakan kemestian, saya rasa tak ada yang harus dipermasalahkan. Karena memang tujuannya sama.

Di sini saya cuma ingin memaknai penghambaan manusia atas dasar kesadaran, dimana makna 'hamba' tadi mengendap pada diri manusia. Kalau sudah seperti itu, saya yakin segala tindakan dan pikiran seseorang tak akan lepas dari sifat-sifat kehambaan seorang hamba Tuhan.

Di samping itu kita juga harus menyadari kalau penghambaan adalah sebuah visi dimana orientasinya mesti benar dan disertai dengan niat yang murni. Kalau seseorang beribadah kepada Tuhan, maka dia harus benar-benar mengarahkan wajahnya kepadaNya. Niatnya pun tidak seharusnya disertai dengan pretensi-pretensi atau tendensi selain Tuhan.

Menghamba kepadaNya adalah tugas utama manusia. Dan ketika kita sedang tidak berhadapan dengannya, bukan berarti penghambaan itu terlepas dari diri ini.

Tuhan telah menetapkan apa yang harus kita lakukan di dunia, termasuklah ketika kita berinteraksi dengan sesama makhlukNya. Jadi bisa dikatakan sebagai usaha penghambaan ketika kita hidup dengan berprinsip dan mengimplementasikan perintah-perintahNya. Persoalan menghamba ini pun tidak seharusnya kita maknai secara simplistis hanya berupa ritual-ritual peribadatan.

Tapi, kembali lagi, saya memang harus tahu diri kalau apa yang saya lakukan belumlah cukup baik untuk disebut 'menghamba'. Di sisi lain, saya pun tak semestinya merasa sudah baik dalam berserah diri kepadaNya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline