Siapa bilang dengan majunya peradaban begini lantas kita lebih hebat, lebih pintar, lebih baik dari orang-orang sebelum zaman saiki? Buktinya, lihat saja sendiri. Kepintaran telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang caranya juga gak bener. Begitu pun dengan teknologi yang telah mengurung kita ke dalam buruknya ego sehingga orang-orang bisa bebas berkata-kata dengan kata-kata yang juga gak bener. Tak ada apresiasi, tak ada rasa hormat, seolah-olah orang lain tak lebih pintar sehingga pantas dicaci-maki.
Itulah yang terjadi di media sosial. Jangankan untuk bisa berbuat benar, karena untuk bisa menjadi baik saja kayaknya kita malah makin jauh.
Perilaku semacam tadi pun akhirnya menjalar kemana-mana, dalam berbagai aspek. Salah satunya yaitu tulisan. Ternyata ada orang yang membuat tulisan yang hanya sekedar tulisan. Nulisnya kelihatan tak pakai pikiran; gak menggunakan otak, apalagi hati. Ibarat orang ngomong, cuma ceplas-ceplos dan sebatas di mulut saja. Tak ada utiltas, tak ada faedah, dan tak ada manfaat yang berguna bagi orang yang membaca. Tak berbobot. Tak berisi. Hanya superfisial belaka.
Saya kira, berdasarkan keadaan yang sedemikian rupa, kita belakangan ini ditarik keluar dari diri kita. Karena memang apa yang ada di luar diri kita itu begitu mengasyikkan. Tapi anehnya, kok bisa-bisanya kita jadi begitu pede dengan diri kita yang semakin kacau dan membuat karya-karya yang juga kacau? Yang ada, ketahuan bobroknya. Ketahuan bagaimana kualitas manusianya. Proses diabaikan karena saking instannya zaman saat ini. Kayaknya memang sudah segampang itu kalau mau jadi orang terkenal. Buat saja sesuatu yang tak berguna, absurd, konyol, kalau perlu bertingkah bodoh, yang itu sangat potensial untuk dilihat orang banyak. Bukannya itu aneh? Aneh juga kalau begitu banyak orang yang tertarik.
Modernitas semakin maju, tapi soal selera, tak ada barometer kualitas yang lagi bisa dijadikan landasan karena yang tak bermutu pun bisa begitu menarik di mata orang banyak, seakan-akan hal itu sangat bermutu tinggi bagi mereka.
Dulu, saat belum dewasa, saya mengira kalau menjadi orang terkenal itu mesti pintar, harus baik, harus cerdas, harus berbobot. Tapi nyatanya saya salah. Karena orang-orang yang kita lihat kebanyakan itu pun tak memiliki kriteria-kriteria yang saya sangakakan tadi. Bahkan walaupun dia memakai dasi, berjas, bertampang rapi, dan lain sebagainya.
Saya tak tahu apakah masyarakat global cenderung mengarah pada hal-hal baik atau sebaliknya. Terutama di Indonesia, dimana belakangan ini saya menutup mata untuk tidak melihat apa-apa saja yang sedang terjadi. Masalahnya paling masih ngubeng di situ-situ juga. Soal ketidakdewasaan beragama-lah --yang mungkin karena kurangnya asupan intelektual dan spiritual; DPR melawan rakyat-lah; Penegak hukum yang malah bermasalah dengan pihak-pihak tertentu --apakah itu dari kalangan agamawan atau bahkan dengan penegak hukum lain.
Mau dikatakan apa lagi ini? Mau dibilang lucu, ya lucu. Mau dibilang aneh, ya aneh. Kok bisa, gitu lho? Dimana keharmonisan itu? Apa kita tak lagi sejalan? Yang dipermasalahkan cuma soal perbedaan. Kesannya kita tak mau bersatu atas dasar kesamaan. Yang dipersoalkan seakan-akan adalah permasalahan identitas; siapa kau, siapa aku. Padahal kita sama-sama bangsa Indonesia. Padahal kita sama-sama manusia. Padahal kita sama-sama punya masalah yang sama! --apakah itu terkait dengan konteks kebangsaan maupun kemanusiaan. Saya kira kita harus saling tanya, apa kita mau jadi orang jahat dan berbuat kerusakan di negeri ini, atau kita masih sama-sama ingin menciptakan keindahan, keharmonisan, kedamaian di muka bumi?
Heran, orang-orang kok makin tak malu berbuat onar? Orang-orang kok makin bangga berbuat keburukan? Serusak apa lagi kalau begitu keadaannya? Kayak hidup di zaman bar-bar, tapi dengan modernitas yang begitu maju. Yang modern cuma tampilan luarnya saja. Kalau soal mentalitas maupun jiwanya, ya anjlok.
Saya kira kita memang sudah kebablasan. Kita tidak lagi berada di jalur yang semestinya. Kita tidak lagi berada di dalam garis batas. Mau bebas sebebas-bebasnya, yang ada tentu kebablasan. Yang ada malah kerancuan, ketidakberesan, kerusakan, ketidaktahuan, kebodohan dan lain sebagainya.
Kalau mau baik, ya kembali mengetahui batas-batas tadi. Masuk ke dalamnya, dan jangan keluar darinya. Yang namanya manusia kan harus tahu mana yang baik dan benar. Kalau tak mau tahu dengan kedua hal tadi, ya kacau jadinya. Bisa-bisa pun kita tak jadi manusia lagi karena sisi kemanusiaannya lenyap. Wah, lupa ya jadi manusia?