Saya seringkali masih merasa heran dengan orang-orang yang tak bisa menerima perbedaan dan begitu mudahnya men-justifikasi orang lain.
Suatu perbedaan itu niscaya. Dalam konteks agama hal demikian pun terjadi. Manusia punya persepsi yang berbeda-beda dalam memahami satu objek yang sama. Lagipula, karena tingkat-tingkat mentalitas manusia --apakah itu aspek-aspek spiritual, intelektual, inteligensi, daya pikir, dan sebagainya-- pun jelas berbeda. Ini juga barangkali yang mempengaruhi bagaimana seseorang akan menyikapi perbedaan-perbedaan persepsi tadi, yang akhirnya akan menjadi indikator kedewasaan seorang penganut agama.
Apalagi masih pula dijumpai penganut agama yang emoh dengan sesuatu yang asing yang dianggapnya tidak berasal dari agamanya. Seringkali hal itu sebenarnya cuma karena persoalan term. Padahal yang namanya hidup tak terlepas dari usaha mengadopsi dan mengadaptasi. Kalau ada yang baik, ya diambil, dipelajari. Tapi kalau ada sisi buruknya, maka lebih baik tak usah diambil. Di zaman saiki, kalau kita terlalu anti terhadap sesuatu sampai sebegitunya, hal demikian rasanya lucu. Bahkan kalau perlu, kita juga harus mengambil pelajaran dari keburukan, untuk tahu mana yang baik itu.
Orang yang beragama harusnya tak perlu khawatir dengan sesuatu yang asing, kalau saja batas-batas parameternya diketahui.
Batas-batas Objektif
Persoalan batas-batas ini pun berbeda-beda letaknya, karena faktor subjektifitas. Ada orang yang menganggap agama sebagai suatu ketentuan mutlak yang harus diikuti, bahkan tanpa boleh tersentuh nalar. Ada yang berusaha memahaminya secara mendalam supaya menemukan hikmah pada sumber-sumber agama tersebut. Akhirnya, di sini pun persoalan batas-batas tadi tak lagi objektif.
Saya yakin kalau tiap penganut agama pun sebenarnya tahu mana batas-batasnya. Tapi, ya itu tadi, batasan tadi disubjektifikasi sampai-sampai pihak lain yang berbeda pandangan dinilai telah keluar dari ketentuan agama. Apalagi agama juga inheren dengan persoalan benar dan salah. Sayangnya, seringkali ada pihak yang merasa paling benar, paling baik, sehingga pihak lain juga dinilai salah, sesat, dan lain sebagainya.
Padahal urusan kita adalah berusaha menjadi baik, dan berusaha untuk benar. Jadi bukan merasa sudah baik atau sudah benar. Tak ada suatu kesudahan pada hidup ini, karena yang kita mesti kita lakukan adalah berusaha menjadi; bukan merasa sudah jadi. Tak ada suatu tahapan absolut yang tak akan berubah.
Iman manusia itu fluktuatif. Kualitas ketakwaan bisa bertambah atau berkurang. Hari ini seseorang memeluk suatu agama, tapi besok bisa saja dia berpaling dari agamanya. Setiap hal bisa saja berubah, karena hidup ini adalah proses, sebagaimana halnya dengan 'berusaha menjadi' tadi.
Kembali ke persoalan batas-batas. Entah kenapa saya selalu merasa apa yang seringkali diributkan itu hanya soal perbedaan. Padahal visi dan orientasinya sama. Tapi kenapa yang dilihat cuma perbedaan? Di mana-mana yang namanya perbedaan itu cuma akan mengakibatkan ketidakharmonisan. Kecuali orang-orang yang sudah bisa bersikap dewasa, dimana kalaupun ada perbedaan, bagi mereka hal itu tak akan menimbulkan keributan, karena mereka sudah bisa menyikapinya.
Jadi adanya perbedaan semacam itu memang berawal dari sisi manusianya sendiri. Itu wajar, tapi seringkali dinilai tak wajar. Padahal itu memang manusiawi. Satu agama, tapi berbeda paham, itu niscaya dan pasti akan terjadi. Kecuali kalau ada pihak-pihak di dalamnya yang melanggar asas-asas agama. Misalnya, kalau satu agama tapi sesembahannya berbeda-beda, itu kan aneh.