Tulisan ini berawal dari kegelisahan seorang teman seniman yang bingung dimana harus menempatkan seni dalam konteks politik. Disebabkan itu juga saya akhirnya menyadari letak kesenian yang memang selama ini jarang saya pikirkan.
Pertama-tama barangkali kita harus membedakan tipe-tipe kesenian, dan untuk apa itu kesenian. Karena pertanyaannya: kesenian yang bagaimana dan letaknya dimana? Apakah kesenian yang hanya sekedar hiburan? Atau kesenian yang memang mengandung unsur keluhuran daya cipta manusia?
Kedua hal itu jelas sangat berbeda. Apalagi kalau kita mau mendefinisikan seni, yang di dalamnya sangat erat dengan persoalan nilai-nilai, etika, dan bukan cuma sekedar persoalan estetik atau keindahan belaka.
Saya pribadi, yang pernah merasakan berada dalam wilayah kesenian, memaknai seni sebagai sesuatu yang tinggi nilainya. Bahkan seni itu bisa disejajarkan dengan agama, dalam konteks nilai-nilainya tadi. Bedanya, seni adalah sesuatu yang memang murni lahir dari manusia. Seni juga mengajarkan, mendidik, menanamkan nilai-nilai normatif, moralitas, dan lain sebagainya. Jadi kalau dikaitkan dengan persoalan sosial, si seniman juga seharusnya memantau, memahami, mengkritik konstelasi sosial yang tidak beres di depan matanya.
Karena seni itu sama halnya dengan agama; yang mana fungsi sebagai penjaga, pengawas, jadi di sini kayaknya kita harus melihat lagi di mana letak seni. Dan kalau nyatanya kita begitu emoh untuk mengaitkan agama dalam urusan politik, rasanya ketidakpantasan semacam itu pun sama halnya dengan seni. Tidak seharusnya agama dan seni berada di bawah politik.
Karena kalau sudah begitu, yang ada kemudian adalah menggunakan seni dan agama sebagai legitimator aksi-aksi politik yang memang penuh dengan egoisme, mau menang sendiri, menghalalkan segala cara, dan lain sebagainya.
Seni, yang bagi saya lahir dari hati, pikiran, kemurnian mental, intelektual, dan spiritualitas manusia, tak seharusnya diganggu dan disubordinasi oleh aspek-aspek sosial, terutama politik, yang cenderung mencampakkan nilai-nilai. Bayangkan saja, gimana lucunya kalau politik yang sifatnya seperti itu berani membawahi seni dan keseniannya? Seni dan agama itu semacam penasehat.
Makanya seni yang berada sejajar dengan agama, jelas berbeda dengan kesenian tanpa seni; yaitu seni yang hanya sekedar hiburan yang tak menyentuh sisi batiniah manusia. Saya menyebutnya kesenian eskapistis, yaitu kesenian yang dicari orang cuma sebagai pemuas kebosanan, pelarian, yang tentu penikmatnya juga orang-orang biasa yang hanya sekedar mencari kenikmatan; datang, asyik-asyikan, lalu pulang. Tak ada yang nempel dan berkesan, kecuali kalau penghibur (penghibur lho ya, bukan artis) yang menghiburnya tadi buka baju, bugil, membuat mata orang melotot, sampai kemudian membuat orang menjadi suka atau malah marah menghujat-hujat.
Jadi, para politisi-lah yang harus dinasehati, dibilangi, diajarkan kalau mereka berperilaku tidak sebagaimana seharusnya. Politik bukan yang tertinggi, cuma karena dia urusan kepemimpinan (saya lebih suka menyebut kepemimpinan daripada kekuasaan). Rakyatlah --yang di dalamnya terdapat seniman, agamawan, pendidik-- yang harus mengawasi mereka kalau-kalau terjadi penyimpangan perilaku.
Karena ini yang paling riskan. Baik itu kaum legislatif, eksekutif, atau bahkan yudikatif, sama saja, karena jabatan-jabatan ini bisa saja disalahgunakan demi kepentingan-kepentingan (setan di dalam) diri mereka. Apalagi kita belakangan melihat sendiri bagaimana hukum pun dijadikan alat dan bisa digunakan untuk menghukum orang-orang yang dianggap mengganggu urusan si penyalahguna hukum tadi.
Tapi seorang seniman memanglah harus tahu nilai-nilai sebelum menilai apa-apa saja yang terjadi di luar dirinya. Dia harus berprinsip pada sesuatu yang kokoh, yang relevan, dimana hal itu bisa menjadi parameter kebebasannya. Tak ada orang yang benar-benar bebas semau-maunya. Kalau seorang seniman membuat karya seenaknya, yang ada dia malah ikut berkontribusi memperburuk suatu keadaan. Berarti sama saja dengan para politisi yang emoh bersentuhan dengan nilai-nilai.