Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Merindukan Diri Sendiri

Diperbarui: 20 Januari 2018   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya Potret Pribadi

Kalau telinga ditutup dan tak digunakan untuk mendengar; kalau mata tak digunakan untuk melihat; dan kalau mulut tidak digunakan untuk mengatakan kata-kata yang bernilai positif, baik dan benar, maka sudah pasti manusia tak akan kembali kepada hakikat dirinya.

Kita adalah makhluk yang mesti selalu mencari ilmu. Dengan apa lagi caranya kalau bukan dengan menggunakan indera-indera kita? Dan pengetahuan adalah pegangan manusia untuk kembali kepada kebenaran, yang itu merupakan orientasi pokok bagi orang-orang yang menyadari.

Kebenaran Yang Dirindukan

Memang seperti itulah kebenaran, yakni sesuatu yang dirindukan oleh orang-orang berilmu. Tapi kebenaran tidaklah begitu saja datang dengan sendirinya mengetuk pintu tanpa adanya relasi kausal dari diri itu sendiri.

Manusia yang gelisah lantaran apa yang disaksikannya, yang didengarnya dari segala hal yang terjadi di dunia ini, memberikan satu rangsangan untuk memperbaiki keadaan yang rusak. Tapi dengan apa? Dengan rasio nalar, logika, yang kemudian seorang manusia bisa menciptakan sebuah ideologi? Atau dengan nilai-nilai dan norma-norma budaya maupun agama? Setiap orang bisa dan berhak menentukan dengan metode apa dia akan berusaha mengubah keadaan. Juga, karena dengan itulah dia menganggap benar metodenya tersebut.

Sebenarnya kita sudah memiliki prinsip nilai-nilai dan norma-norma yang jelas. Mau itu berdasarkan atas agama, budaya, ataupun aspek-aspek konsensus kebangsaan. Masalahnya, kalau kita tak mau lagi berprinsip dan kembali mengenalinya, terus mau berprinsip pada apa lagi?

Kalau memang mau menjadi orang lain, mestinya kita tahu diri. Ada nilai-nilai yang akseptabel dengan konstelasi negeri ini, dan ada juga yang tidak. Kalau mau disebut beberapa hal yang tak bisa kita terima, yaitu adalah kasus LGBT, korupsi, atau ateisme. Ketiga persoalan tadi sudah jelas tak bisa diterima berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma kita, yaitu agama, budaya, maupun kebangsaan.

Kalau memang ketiga prinsip fundamental tadi pun diabaikan, kayaknya bangsa ini sudah menjadi korban serangan-serangan dari luar yang memang ingin mencerabut manusia dari prinsip-prinsip primordial yang jalannya tak lain adalah melalui globalisasi.

Tapi barangkali saya terlalu apriori. Maksudnya, bahwa dampak terburuk seperti itu --yaitu tercerabutnya kita dari prinsip-prinsip tadi-- belumlah terjadi secara masif dan parah. Saya masih berpikiran positif tentang hal ini; yaitu tentang orang-orang yang masih mau menjadi dirnya sendiri, menjaga dirinya dari serangan-serangan luar. Walaupun tak bisa dinafikan kalau fenomena globalisasi ini juga harus kita bentengi, terutama pada diri kita masing-masing. Kalau tidak, yang terjadi kemudian kita yang akan menjadi  pribadi-pribadi yang tak tahu arah dan tak tahu mau kemana. Melihat hal ini pingin begini, melihat yang itu pingin begitu. Akhirnya ya tak akan pernah menjadi diri sendiri.

Jadi, kalau harus menarik relevansi antara kebenaran dengan diri sendiri tadi, maka hal itu menjadi inheren karena kebenaran memanglah tidak akan ditemukan kalau kita tidak mengenal diri sendiri dan mencarinya sendiri dengan tidak terkekang oleh doktrin-doktrin, pengaruh-pengaruh, atau hasutan-hasutan orang lain.

Akhirnya, permasalahannya adalah soal apakah kita merindukan diri sendiri atau tidak(?).[]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline