Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Iman Kepada Pluralitas

Diperbarui: 18 September 2017   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: www.qureta.com

Indonesia ini memang merupakan suatu negara yang rame. Banyak budaya tradisi khas  dari berbagai daerah tersebar di seluruh negerinya. Begitupun dengan aspek etnisitas maupun kesukuan, barangkali bisa dikatakan bangsa Indonesia adalah bangsa permisif terhadap persoalan yang satu ini selama suatu etnis tersebut tidak membuat suatu keributan yang mengganggu kenyamanan dan ketenangan di tanah air.

Masalah kita belakangan ini paling-paling cuma soal sensitifitas keagamaan yang membuat kita begitu hati-hati kalau membahasnya.

Beda dengan keadaan di luar, dimana diskusi antar agama bisa dilakukan dengan sikap dewasa dan aman tanpa kegaduhan. Memang, kita belum bisa seperti itu.

Saya jadi teringat saat sekolah di tingkat SMP, dimana ada seorang teman sekelas yang beragama Hindu. Pada saat pelajaran agama Islam dia tetap duduk di dalam kelas bersama kami yang kebetulan satu kelas itu beragama Islam semua, kecuali dia sendiri. Saya belum pernah membayangkan bagaimana rasanya mendengarkan ajaran agama orang lain, kalau saja saya menjadi dia. Dan baru belakangan ini pula saya sedikit banyak belajar tentang teologi agama-agama, terutama agama samawi. Makanya dari keterbukaan tersebut pula saya mulai memikirkan atau mengimajinasikan bagaimana kalau di sini, di Indonesia ini, kita menyikapi ajaran agama sebagaimana sebuah pengetahuan umum.

Tapi barangkali itu masih sangat sulit untuk dilakukan kalau agama kita masing-masing belum kita dalami. Kalau di luar negeri sana para sarjananya sudah bisa menganalisis kitab suci agama lain, itu karena mereka sudah mengenal agama mereka sendiri, sehingga kemudian bisa masuk ke ranah perbandingan agama. Kondisinya beda dengan kita, karena ini juga tak lepas dari faktor kualitas keagamaan.

Pluralitas itu Ayat-ayat Tuhan

Bicara soal perbedaan-perbedaan ini, saya masih tak paham kenapa masih ada orang yang tak bisa menerima suatu perbedaan. Apalagi kalau yang menyikapi demikian adalah orang-orang yang mengaku beragama, bertuhan.

Masalahnya, kita tak bisa menerima secara simplistis ayat-ayat Tuhan hanya berdasarkan kalimat-kalimat pada Kitab Suci atau pada aspek-aspek profetik. Semua yang kita lihat adalah ayat-ayat Tuhan; tanda-tanda kemahabesaran dan kehendakNya. Itu ada pada diri kita atau pada realitas sosial maupun pada kehidupan ini, secara holistik. Mungkin ini tak terlepas dari pemahaman seseorang yang kurang mau memahami kehidupan maupun ciptaanNya. Artinya, pemahaman tentang agama masih terfokus pada substansi-substansi kitab suci dan hal-hal profetik semacam tadi. Belum meluas dan masih terlalu partikularistis.

Padahal iman itu sendiri definisinya sangatlah luas. Bagi saya, iman itu bukan sekedar percaya dan yakin, melainkan juga berdefinisi menerima sesuatu secara positif. Termasuklah pada anasir-anasir pluralitas kita, dimana itu harus diterima secara positif lantaran hal tersebut merupakan kehendakNya yang sudah niscaya terjadi dan kita bisa saksikan sendiri sebagai maujud.

Jangan pisahkan apapun dengan Tuhan, bahkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Tidak ada di dunia ini yang tidak terlepas dari ayat-ayatNya dan dengan Dia sendiri. Makanya, ini tak terlepas dari kualitas pengenalan seseorang terhadap Tuhan, yang mana ketika dia ditanya Tuhan itu ada di mana maka dia akan menjawab "tuh di atas langit".

Padahal, terhadap orang-orang yang tak bisa menerima kemajemukan tersebut, dengan mudahnya kita bisa saja mengafir-ngafirkannua lantaran tidak bisa menerima keniscayaan atau kehendak Tuhan. Tapi saya tahu kalau  hierarki intelektual seperti demikian juga merupakan pluralitas yang harus saya terima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline