Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Kalau Ilmu Manusia Bisa Menjelaskan Larangan Tuhan

Diperbarui: 16 September 2017   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: liputanIslam.com

Sebagai umat beragama, perintah atau ketentuan Tuhan memang menjadi suatu keharusan tersendiri. Apakah perintah atau larangan Tuhan tersebut dipatuhi atau tidak, itu menjadi pilihan bagi personalitas diri seseorang dimana hal tersebut mestinya jangan dilepaskan dari persoalan konsekuensi atau tanggungjawab yang merupakan pokok-pokok ajaran agama.

Ya, konstelasi keilmuan dan teknologi memang sudah sedemikian maju saat ini. Tapi, apakah perintah Tuhan masih menjadi sesuatu yang harus ditaati secara buta, pertanyaan tadi menggelisahkan saya di saat kemajuan peradaban berjalan bersamaan dengan aspek-aspek keimanan dan ketakwaan para penganut agama.

Secara pribadi, saya memang meyakini bahwa Tuhan tidak melarang manusia tanpa kejelasan atau alasan. Artinya, Tuhan tidak membuat ketentuan absurd seenak-enaknya saja. Atau dengan kata lain, segaka perintahNya pastilah dimaksudkan untuk kebaikan manusia. Apakah bisa dikatakan sebagai tuhan kalau Dia sebagai Sang Pencipta hendak merugikan atau mendzalimi kita? Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah masuk ranah teologi yang saya tidak ingin membahasnya pada tulisan ini. Tapi, persoalan imperatif keagamaan inilah yang mestinya bisa kita gali dalam konteks majunya ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer.

Jadi, kalau misalnya Tuhan melarang berzina, mencuri dan lain sebagainya, saya yakin para ahli pada masing-masing bidang keilmuan sudah bisa menjelaskan secara rasional soal kenapa Tuhan melarang-larang kita melakukan ini-itu.

Para sosiolog pasti bisa menjelaskan dampaknya bagi masyarakat kalau kasus perzinahan terjadi di mana-mana. Begitupun para psikolog, sejarawan, budayawan, yuris, antropolog, dokter, ekonom, maupun orang-orang hebat lainnya, silahkan menjelaskan kepada masyarakat penganut agama tentang dampak-dampak yang ditimbulkan kalau manusia melanggar laranganNya. Misalnya, secara personal tentu seorang pencuri akan mempunyai masalah tersendiri bagi dirinya. Itu baru secara personal, dan belum lagi soal dampaknya bagi sosial yang tentu berpengaruh karena keterikatan struktur-struktur kausal.

Saya memang tak begitu tahu bagaimana relasi bidang-bidang keilmuan ini terhadap substansi keagamaan. Walaupun, berdasarkan impresi saya, persoalan agama jarang sekali menyentuh aspek-aspek keilmuan seperti tadi. Para agamawan hanya membahas substansi agama berdasarkan satu perspektif yang itu-itu saja. Padahal, kalau memang kedua hal itu berjalan paralel dan saling terhubung dengan baik, dampaknya tentu bisa menjadi faktor-faktor penambah keimanan maupun ketakwaan seseorang. Artinya, para penganut agama tidak akan lagi merasa patuh secara buta karena ada penjelasan-penjelasan rasional maupun empiris sehingga mereka paham terhadap konsekuensi dan pertanggungjawabannya baik itu di hadapan masyarakat maupun di hadapan Tuhan.

Lagipula, pemahaman para penganut agama pun semakin bertambah. Dan ini pun sebenarnya bisa menjadi tolok ukur tersendiri bahwa agama memang bukan ajaran irasional karena agama harus akseptabel terhadap aspek-aspek keilmuan manusia semaju apapun kualitas keilmuan tadi. Dengan kata lain, rasionalitas maupun kemajuan peradaban juga bisa dijadikan alat uji apakah agama itu hanya berisi perintah-perintah absurd belaka, atau memang kompatibel dengan kemajuan peradaban manusia.

Ditambah lagi, bukannya agama mestilah bisa menjangkau persoalan-persoalan kemanusiaan kita? Ya, agama yang diturunkan Tuhan untuk kita memanglah mesti menjangkau segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal keilmuan tadi. Karena bagi saya, rasanya sesuatu yang lucu kalau agama tidak bersentuhan dengan aspek-aspek sekuler duniawi. Kalau tidak percaya, siapapun boleh membaca kitab-kitab Hadits, dimana isinya justru banyak menjelaskan tentang etika-etika pada kehidupan duniawi manusia, dan tidak hanya membahas soal kerohanian saja.

Lagipula, selama ini yang saya lihat, agama hanya dimaknai atau dilekatkan hanya pada persoalan batiniah, rohaniah, maupun spiritualitas.

Tidak. Agama mestinya juga harus dibahas, dilihat dari berbagai perspektif.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline