Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Yang Tahu, yang "Asyik Sendiri"

Diperbarui: 31 Mei 2017   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | sumber gambar: www.sethroselife.com

"Pengetahuan yang kau dapat itu jangan hanya kau bagi untuk kalangan yang memahaminya saja, melainkan juga harus diketahui banyak orang," begitu kira-kira bunyi peringatan yang datangnya entah darimana kepada diri saya.

Dari bunyi-bunyian tersebutlah saya jadi sadar dan merenungi utilitas pengetahuan bagi banyak orang, dalam arti universal. Memang, terkadang kita begitu bangga dengan apa yang kita ketahui sampai-sampai ada semacam ego untuk hanya asyik berbicara sendiri dan mengkomunikasikannya hanya kepada orang-orang tertentu yang paham dengan tingkat intelektual kita. 

Padahal sebenarnya kita pun tahu kalau pengetahuan itu mesti kita bagi kepada semua orang. Metodenya bisa bermacam-macam, apakah itu dalam bentuk indoktrinasi satu arah, atau dalam bentuk diskusi, tukar pikiran, dan lain sebagainya. Tapi, bagi saya pribadi, metode yang kedua rasanya lebih mudah dan sopan. Kecuali, kalau Anda seorang guru, syekh, atau bahkan seorang yang merasa sebagai orang bijak, maka silahkan-silahkan saja mengajarkan doktrin dogmatis kepada pengikut Anda. Makanya tadi saya katakan kalau metode yang kedua lebih sopan dan lebih "tahu diri" lantaran terdapat sebuah aktivitas untuk sama-sama aktif dalam berpikir sehingga terjadi dialektika pemahaman pada diri kita.

Okelah, kita abaikan saja metodologi didaktis seperti itu, lantaran pokok permasalahan kita terletak pada soal bagaimana suatu pengetahuan tadi bisa diketahui dan bermanfaat bagi orang banyak. Nyatanya kita juga tahu bagaimana seorang nabi sekalipun –yang memiliki kualitas intelektual tidak sebagaimana manusia pada umumnya– mesti bisa mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan ilahiah kepada semua kalangan. Apa seorang nabi hanya berbicara kepada orang-orang bijak maupun orang-orang terdidik saja? Atau, –kalau dikaitkan dalam konteks saat ini– apakah seorang nabi akan berbicara hanya kepada para sarjana, doktor, profesor maupun para akademisi saja? Apa seorang nabi hanya asyik ngobrolin soal epistemologis, ontologis, atau persoalan-persoalan filsafat kepada orang-orang yang memahami hal itu? Tidak.

Di sini kita tidak bicara soal pengetahuan alienatif yang terpisah dengan persoalan kehidupan. Kecanggihan intelek dan spiritual kita mestilah digunakan untuk kepentingan bersama dan tidak partikular. Dalam arti, siapa pun dia maupun seberapa tinggi sekolahnya, ilmunya itu tentulah harus bermanfaat dan tidak hanya "asyik sendiri" membahas permasalahan tertentu. Permasalahan kita, apakah itu dalam konteks kemanusiaan maupun ketuhanan, adalah persoalan universal dimana hal tersebut menjadi pokok bahasan kita setiap saat. Dengan kata lain, ada permasalahan-permasalahan yang selalu aktual kapanpun dan dimanapun.

Terkadang saja juga sadar sendiri ketika membaca buku-buku tertentu yang bersifat alienatif. Ada semacam perasaan "buat apa kau harus baca buku begituan, sedangkan itu hanya kau sendiri yang tahu?" Permasalahan kita memang banyak dan ngantri dari hari ke hari. Mau itu permasalahan agama, negara, bangsa, sikap, pemikiran, sosial-budaya, dan lain sebagainya, itu semua tak akan habis untuk diperbincangkan selama kita hidup. Dan kita selalu berhadapan dengan hal demikian. Buat apa kita hanya "asyik sendiri" di alam pemikiran pribadi? Buat apa kita belajar? Buat apa kita sekolah? Apa kemudian hasil dari kegiatan kita tadi hanya digunakan untuk kemudian kita memisahkan diri dari persoalan krusial di sekitar kita?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline