Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Pengetahuan Wajib Itu...

Diperbarui: 30 Mei 2017   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar : sutrajournal.com"][/caption]

Sambil merenungi persoalan epistemologis dan memahami konstelasi peradaban manusia di masa lalu, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul pertanyaan terkait dengan ihwal kebenaran dalam konteks pengetahuan.

Kita tahu bahwa sebagai makhluk yang berpengetahuan tentu kita dimestikan untuk mengetahui sesuatu. Di sisi lain, saya yakin bahwa manusia yang berpikir, dari dulu hingga nanti, pasti akan mengalami kegelisahan yang sama terkait dengan pencarian kebenaran.

Pertanyaannya: Darimana sumber kognisi pengetahuan orang-orang di zaman dahulu dalam mencari tahu perihal kebenaran dan ilmu kebijaksanaan di kala peradaban saat itu belumlah seperti sekarang?

Saya pribadi merasa bahwa kita saat ini nampak begitu berketergantungan pada pengetahuan sains atau pengetahuan-pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah. Ditambah lagi, mungkin pun kita menganggap hal itu sebagai suatu pengetahuan yang mesti atau wajib diketahui dan diterima kebenarannya. Maka kalau kita sekarang bisa dikatakan bahagia dan bangga dengan pencapaian ilmu pengetahuan saintifik dan keilmuan lainnya, saya jadi merasa kasihan pada orang-orang di masa lampau dimana mereka belum tahu soal istilah gravitasi; belum tahu ilmu biologi dengan istilah-istilah seperti fotosintesis, klorofil, dan lain sebagainya; belum tahu soal bagaimana mesti mengatur keuangan dengan baik dan benar berdasarkan disiplin keilmuan saat ini; Juga belum tahu soal nilai baik buruknya atau sehat tidak sehatnya gizi di makanan yang mereka makan. Atau dalam arti luas, mereka belum mengetahui soal disiplin ilmu-ilmu yang kita ketahui saat ini. Dari situ saya jadi berpikir, kalau memang ilmu-ilmu seperti demikian menjadi suatu kewajiban yang mesti diketahui, maka kasihan sekali orang-orang di jaman dahulu yang tidak seberuntung kita.

Jadi, apa iya ilmu-ilmu seperti itu yang menjadi orientasi utama kepentingan kita? Kalau memang iya jawabnya, saya rasa saya perlu protes dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak adil dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan penting itu hanya kepada kita dan tidak kepada orang-orang di masa lalu. Dan kalau jawabnya tidak demikian, berarti ada suatu pengetahuan-pengetahuan umum yang esensial yang itu wajib diketahui oleh manusia di zaman dulu, saat ini, dan nanti. Pengetahuan apakah itu?

Ditambah lagi, kita tahu bahwa peradaban masa lampau tidak semaju sekarang, walaupun mungkin "kebanggaan" ini tidaklah betul-betul benar. Katakanlah bahwa orang -orang di masa lampau memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mereka tidak bisa mengeksplorasi alam secara ekstensif. Dari hal itu, apakah berarti kita boleh mengatakan bahwa kita lebih beruntung dari orang-orang di masa lalu? Sebenarnya dari persoalan di atas, perbedaan-perbedaan kita dalam konteks temporal hanyalah terkait dengan hal-hal eksternal seperti teknologi, budaya, dinamika ilmu pengetahuan, peradaban dan lain sebagainya. Tapi, secara internal, tentu tak ada yang berbeda. Manusia dari dulu sampai nanti akan tetap ditanamkan watak yang selalu sama. Dan terkait dengan soal keimanan, kebijaksanaan, perihal mentalitas, batiniah, dan lain sebagainya tentu tak ada yang berbeda pada diri setiap manusia. Apa perbedaannya selain hanya soal kualitas? Kualitas kebijaksaan, kualitas keimanan, maupun terkait dengan hal-hal psikis lainnya di dalam diri kita, itulah perbedaan-perbedaan pada kesamaan setiap manusia.

Kalau pun kita lupa dengan persoalan ini, saya rasa hal itu karena kita memahami sejarah hanya dari sisi eksternal seperti yang sudah disebutkan tadi. Mungkin kita kurang memahami noumena di balik fenomena-fenomena sejarah dimana sebenarnya itu tak jauh berbeda dengan fenomena-fenomena yang kita alami saat ini dan nanti. Dalam arti, bukan tak mungkin apa yang terjadi di masa lalu akan terjadi lagi nanti, namun dengan tampilan yang berbeda. Maka kita di sini bicara secara esensial dengan mengamati diri kita. Kita bicara laku spiritual (mistisisme) sebagai suatu jalan kognitif dalam memperoleh pengetahuan hakiki, di samping sebagai upaya mendekatkan diri dan mematuhi Tuhan, tentunya. Dan apakah permasalahan tersebut masih aktual sampai saat ini? Sebenarnya tak ada jawaban negatif pada pertanyaan tadi. Hanya saja, mungkin kita telah terperangkap dalam aktualitas spasio-temporal yakni pada konteks saat ini. Bukan. Permasalahan aktual itu bukanlah cuma sesuatu yang sedang panas-panasnya terjadi lalu sebentar lenyap entah kemana. Permasalahan aktual kita tentu adalah sesuatu yang tetap relevan dari dulu sampai nanti. Dia ada di dalam diri kita.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline