Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Ketika Agama adalah Karya Orang Mabuk

Diperbarui: 4 Mei 2017   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.reviewofreligions.org"][/caption]

Mungkin saya tak bisa pikir untuk memahami secara logis apa maksud seorang teman yang sedang menempuh pendidikan S2 dengan mengatakan bahwa agama (dalam hal ini yakni Kitab Suci) adalah karya orang mabuk. Apa maksudnya dia mengatakan demikian? Saya tak habis pikir.

Mungkin di sisi lain saya harus terlebih dahulu memahami bagaimana dia memaknai agama. Apa agama baginya hanya sekedar identitas yang tertulis di KTP? Atau, apa agama hanya ajaran warisan orangtua yang mau tak mau mesti dianut? Saya masih tak paham kenapa dia menganut agama, tapi di sisi lain, dia bisa mengatakan bahwa agama adalah karya orang mabuk.

Saya yakin bahwa kita semua tahu bagaimana sikap orang yang sedang mabuk. Kalau seseorang bicara dengan orang mabuk, jangankan bicara dalam konteks logis atau rasional, karena bahkan untuk sekedar memahami perkataannya saja kita sudah sulit; tidak nyambung atau ngelantur. Lalu, bagaimana mungkin seorang yang sedang mabuk bisa menulis sesuatu (Kitab Suci) yang bersubstansi sangat rasional dan itu diakui oleh orang-orang sadar? Ditambah lagi, kita bisa saksikan siapa-siapa saja yang menganut suatu agama? Bukan hanya orang biasa, kan? Bahkan seorang intelektual, filsuf, teolog, ilmuwan, dan orang-orang cerdas lain pun menganut sebuah agama. Apa mungkin orang-orang pintar dan sadar seperti mereka mengatakan bahwa Kitab Suci yang mereka imani itu ciptaaan orang mabuk? Saya yakin, hanya orang yang tak memahami agamalah yang mengatakan demikian.

Kalaupun mabuk yang dimaksud adalah mabuk ekstase, sebagaimana seseorang mabuk dalam cinta kepada Tuhan, saya rasa orang seperti itu pun tidak akan bisa menuliskan atau mengucapkan suatu nilai-nilai kebenaran. Lalu mabuk yang bagaimana yang dimaksudnya?

Di sisi lain, kita pun mengetahui bahwa agama tak terlepas dari konteks pencarian manusia akan kebenaran. Dan darimana lagi kita memperoleh kebenaran kalau bukan dari Sang Pencipta Yang Maha Benar? Jadi, bagaimana bisa suatu agama yang berdasarkan atas kebenaran itu bersubstansikan kata-kata orang mabuk?

Saya kira kita pun tahu bagaimana konstelasi diri kita sebagai manusia. Manusia memang bertendensi tidak mempercayai kebenaran, bahkan cenderung menyalahkan kebenaran. Itu watak manusia dari dulu sampai nanti. Pertanyaannya: masihkah kita akan mencari kebenaran itu? Mungkin teman saya tadi berada dalam konteks pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, mungkin buku-buku karangan manusia telah menyelesaikan semua permasalahan manusia sehingga kebenaran tidak lagi menjadi entitas yang dicari, diyakini, dan dijadikan prinsip maupun pedoman dalam hidup. Apakah demikian halnya?[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline