Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Bukan Perikemanusiaan, tapi Periketuhanan

Diperbarui: 3 Mei 2017   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.kikasyafii.com"][/caption]

Mungkin pantaslah saya keheranan ketika orang-orang pada sibuk menyebut-nyebut soal kemanusiaan. Orang yang tak acuh atau apatis, dibilang tak punya sisi kemanusiaan; tak punya perikemanusiaan. Pun, ketika ada orang kesusahan, kita bilang hal itu lantaran aspek kemanusiaan kita. Pokoknya, yang kita sebut-sebut itu tak lain adalah soal perikemanusiaan. Begitu juga yang selalu kita pertanyakan, tak lain adalah soal perikemanusiaan kita. Dari hal di ataslah saya sampai-sampai bertanya: apa memang nilai-nilai perikemanusiaan tadi telah hilang entah kemana?

Padahal, kalau saja kita mau memahami hakikat diri kita ini, sebenarnya perikemanusiaan kita itu tidak kabur kemana-mana. Dalam arti, bahwa manusia itu memang diciptakan dengan sifat baik-buruk, benar-salah, dan sifat-sifat kontradiktif lainnya. Itu memang ada di dalam diri kita, namun kita pun tahu bahwa kita memang mesti berorientasi pada nilai-nilai atau sifat-sifat positif dan berusaha menjauhi kekeliruan, kesalahan, dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, usaha menjauhi sifat-sifat negatif tadi merupakan perjuangan kita dalam hidup ini. Jadi kalau memang nilai-nilai kontradiktif tadi sudah tentu ada pada diri kita, tentunya tak ada yang salah dengan ihwal perikemanusiaan kita.

Lalu, kalau aspek-aspek kemanusiaan kita memang baik-baik saja, terus apa yang hilang atau tak beres pada diri kita? Saya pun akhirnya menyadari bahwa yang hilang itu adalah nilai-nilai periketuhanan yang ada pada diri kita. Lagipula, saya rasa bukannya tak mungkin kalau nilai-nilai periketuhanan tadi ada pada diri (pengetahuan) kita untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Maka di sinilah kita bicara soal moralitas dan akhlak. Kita bicara soal kasih sayang yang hilang, di situ pula kita bicara soal sifat-sifat Tuhan yang tak ada pada diri kita. Bukannya Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang? Bukannya Dia itu Maha Peduli, Maha Memahami, Maha Memperhatikan terhadap kita maupun terhadap makhlukNya yang lain?

Mungkin permasalahan di atas lantaran kita terlalu antroposentris dan tak mau melibatkan Tuhan di dalam diri kita maupun pada berbagai aspek kehidupan; seperti dalam hal kemajuan personal, kebaikan sosial, rekonstruksi nilai-nilai, apakah itu yang terkait dengan konteks nasional atau bahkan mondial. Dengan kata lain, Tuhan tidak kita ajak untuk ikut dalam urusan-urusan yang kita anggap penting seperti tadi.

Tapi, saya rasa kita tak usahlah terlalu jauh berbicara dalam konteks nasional atau mondial. Saya kira kira perlu untuk kembali menge-chek secara personal apakah sifat dan nilai periketuhanan tadi sudah ada dalam diri kita atau belum. Saya pun sampai sekarang masih selalu meminta kepadaNya agar selalu dijauhkan dari kekeliruan dan keburukan; maupun senantiasa agar menjadi orang yang baik dan benar tanpa pernah merasa sudah baik dan benar.

Memang, sifat baik dan benar itu merupakan sifat Tuhan. Tapi, soal bagaimana yang baik dan benar itu ada pada diri kita, pastinya hal tersebut berbeda dengan apa yang ada pada Tuhan. Dalam arti, pada diri kita nilai-nilai itu tidak absolut sehingga kita diharuskan untuk selalu berusaha menjadi orang yang baik dan benar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline