Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Ketika Tuhan vis a vis Sains

Diperbarui: 27 April 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ilustrasi | sumber gambar: www.pinterest.com"

Kadang saya tak habis pikir kalau melihat relasi antara aspek-aspek ketuhanan dengan ilmu pengetahuan (saintifik). Ada yang berusaha membuktikan suatu mukjizat dengan dasar-dasar ilmiah, lalu kemudian mengakui kemahakuasaanNya Tuhan; di sisi lain, persoalan ilmu pengetahuan empiris dengan orientasi positivitis malah berimplikasi terhadap penafikam atas kehadiran Tuhan cuma lantaran mereka berhasil membongkar "cara kerja" Tuhan.

Mungkin ini klise disebabkan permasalahan (bahkan polemik) semacam tadi memang sudah terjadi bukan pada saat kemarin sore. Tapi kalau bicara soal kebenaran, apakah itu kebenaran Tuhan atau kebenaran positivisme, tentu kebenaran yang absolut (tanpa kekeliruan) itu hanya berasal dari satu sumber. Di sini, yang manakah yang kita pilih, antara percaya dengan Dzat Yang Maha Benar, atau percaya dengan pencapaian ilmu pengetahuan positivisme? Tiap orang boleh saja mempercayai salah satu di antara keduanya, karena kita pun tahu bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi keliru.

Sebenarnya permasalahan ketuhanan dengan ilmu pengetahuan itu tak perlu dipermasalahkan. Kalau Tuhan misalnya menghendaki Nabi Musa bermukjizat dapat membelah laut lalu kemudian saat ini kita dapat membuktikannya secara ilmiah, hal itu cuma karena keterbatasan ilmu pengetahuan kita di masa lalu. Harusnya ketika kita saat ini sedikit banyak mengetahui "cara kerja" Tuhan, lantas jangan kemudian kita mengatakan Tuhan itu tidak ada (catatan: bagi saya, seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada cuma karena Dia tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan). 

Bukannya hal itu mestinya kita syukuri karena Dia telah memberitahukan rahasiaNya kepada kita? Dalam arti, bahwa Tuhan menciptakan hukum atau sistem sebab akibat (kausalitas) itu tidak lain supaya memudahkan kita dalam memahami kebesaranNya. Coba bayangkan seandainya Tuhan menghendaki sesuatu terjadi begitu saja tanpa kita bisa menganalisisnya atau mengobservasi secara empiris; tentu kita akan bingung setengah mati. Coba bayangkan jika itu seringkali terjadi begitu saja. Saya tak habis pikir; kasihan bener kita dibuat bingung oleh Tuhan.

Di sisi lain, kalau hal-hal menakjubkan itu terjadi, Tuhan memang bebas untuk menghendaki sesuatu terjadi di luar logika. Dia bukan sebagaimana makhluk yang terikat pada hukum-hukum atau sistem-sistem tertentu. Nyatanya, kalau kita masih menilai ihwal demikian sebagai sesuatu yang irasional atau tidak logis, maka bisa dikatakan kita masih terperangkap dan tidak bebas dari pola pikir kita. Dalam arti, tentu tidak ada yang irasional kalau saja kita mengenal Tuhan dan sifat-sifatNya. Semua fenomena-fenomena itu sebenernya logis dan rasional. 

Tapi saya rasa, ini pun tidak terlepas dari kebiasaan kita dalam memandang suatu fenomena. Kita biasa memandang burung bisa terbang; kita biasa memandang seseorang yang bernyanyi dengan keindahan suaranya; kita terbiasa melihat hujan yang turun dari langit, sehingga hal itu tidak lagi aneh bagi kita. Padahal kalau kita mau mencermati secara mendalam suatu fenomena dan noumena pada suatu realitas, kita justru akan takjub; bagaimana bisa itu semua terjadi. Bagaimana bisa burung mempunyai daya dan anatomi-anatomi sehingga dia tercipta dapat terbang? Bagaimana bisa hujan turun dari langit (awan) ke bumi, lalu melalui sirkulasi dan perubahan-perubahan entitas seperti itu sehingga dia bisa kembali naik ke atas sana? Ketika seseorang berpikir secara kontemplatif seperti tadi, dia akan takjub dengan kekuasan Tuhan walaupun hanya dengan melihat dan memikirkannya secara rasional.

Jadi, sebenarnya kita tidak usah mau dikekang oleh pikiran kita sendiri dalam melihat perbuatan-perbuatan Tuhan. Dia mau membuat suatu fenomena yang rasional, yang dapat dibuktikan secara ilmiah, atau berupa anomali sekalipun, hal itu sama saja karena itu merupakan kemahakuasaanNya. Dimana permasalahannya kalau bukan pada diri kita yang terbatas untuk dapat mengetahui segala hal secara komprehensif dan ekstensif? Atau, mungkin kita lupa bahwa kita memang makhluk terbatas? Atau, apa kita sudah sedemikian sombong cuma karena pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini? Padahal, bukannya tak mungkin kalau di masa depan nanti pencapaian kita tidaklah lagi berarti apa-apa dibanding pencapaian generasi selanjutnya. Dan bukannya kesombongan-kesombongan atas pencapaian peradaban memang sudah selalu terjadi sejak dahulu kala? Tidak, kita adalah makhluk yang terbatas dan tak akan berada pada puncak segala pencapaian. 

Kita bukan yang paling pintar atau yang paling canggih. Di kehidupan ini berlaku dialektika dan pembaruan-pembaruan dimana kekeliruan kita akan ditemukan oleh generasi mendatang untuk kemudian mereka perbaiki dan begitu seterusnya karena manusia memang makhluk yang tak lepas dari kelalaian atau kekeliruan. Banyak yang luput dari perhatian kita walaupun kita sudah berjuang semaksimal mungkin untuk dapat mengetahui suatu fenomena secara positivitis. Apa kita sadar atas kelalaian dan banyaknya hal-hal yang luput dari perhatian kita? Satu hal yang pasti; tentu kita tak sadar.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline