Muncul pertanyaan sederhana yang datangnya entah dari mana. Pertanyaan itu berbunyi: apa iya orang yang sudah menemukan kebenaran, dia itu sudah tentu baik? Atau dengan kata lain, pertanyaan di atas sebenarnya ingin menganalisis, apakah kebenaran itu inheren dengan kebaikan?
Mungkin ini akan susah dijelaskan tanpa dipahami secara kontekstual. Contohnya saja, dalam sejarah pernah terjadi hukuman mati terhadap sufi yang mengatakan "Aku adalah Yang Maha Benar (Ana Al Haqq)." Tapi di situ ada pula yang mengartikan "Al Haqq" itu sebagai kebenaran atau salah satu nama Allah. Yang jelas, bagi saya makna kebenaran dengan Dzat Yang Maha Benar adalah dua hal yang berbeda. Kembali ke konteks, pernyataan "Ana al-Haqq" tadi diucapkan oleh seorang sufi bernama Al Hallaj sehingga kemudian dia dihukum mati secara tragis.
Ada beberapa cerita sufi-sufi martir lain yang pokok permasalahannya hampir sama yaitu tentang Suhrawardi, atau di negeri ini kita juga pernah mendengar nama Syekh Siti Jenar yang bagi saya sosoknya masih berupa polemik karena begitu banyak buku yang mempersoalkan apakah kematiannya wajar atau tidak. Tapi saya di sini tak mau panjang lebar memaparkan sejarah mereka, lantaran saya sendiri memang tidak mengetahuinya sampai sebegitu mendalam. Lagian, banyak faktor yang membuat mereka akhirnya "dipulangkan"; Dari yang katanya karena alasan politis, kebaikan bagi masyarakat umum, dlsbnya.
Tapi kembali soal pernyataan "Aku adalah Allah" atau pernyataan-pernyataan semisal, saya kira memang tidak ada yang mesti dipermasalahkan, walaupun saya sendiri mengakui bahwa seandainya pernyataan itu didengar oleh orang-orang awam yang tak mendalami mistisisme, bukan tak mungkin mereka akan salah dalam mempersepsikannya. Dalam arti, bisa saja mereka berestimasi bahwa si sufi tadi mengaku-ngaku sebagai tuhan. Padahal, saya sendiri tidak menemukan pernyataan yang mengatakan mereka mengklaim diri mereka sebagai tuhan yang harus disembah, baik itu secara eksplisit maupun implisit.
Di sinilah kita harus memisahkan aspek kebenaran dan kebaikan. Dalam arti, kita bicara soal aspek esoteris yang memang belum tentu baik kalau diperdengarkan kepada orang banyak. Ini pun tak terlepas dari segi spiritual dan intelektual manusia yang memang bertingkat-tingkat. Ada yang belum bisa memahami itu sampai kemudian menjustifikasi sesat, dan ada yang bisa memahami sehingga tidak perlu mempermasalahkannya. Lagian, saya kira yang dipermasalahkan pun tidak lain adalah ucapan-ucapan yang keluar dari mulut manusia-manusia yang mabuk cinta kepada Sang Penciptanya sehingga dikhawatirkan berimplikasi terhadap aspek-aspek tertentu.
Ditambah lagi kalau memang orientasinya benar-benar hanya kepada Dia, mematuhi Dia, dan mengikuti jalan yang sama sebagaimana diajarkan rasulNya tanpa mengada-adakan sesuatu di luar ajarannya, hal demikian tentu sudah semestinya. Itu fundamen dan parameter untuk kita kemudian menyatakan sesat atau bid'ah kepada orang lain. Lagipula, tidak ada suatu yang mesti disalahkan kalau seorang manusia memang sepenuh hati mengorientasikan diri dan hidupnya hanya kepada Dia. Nyatanya, memang itulah esensi agama dimana penganutnya mesti intens untuk "cinta mati" kepada Tuhan dan mematuhi norma-norma yang diturunkanNya. Sekali lagi: apakah ada kekeliruan di dalamnya?
Lagipula, saya kira ketika kita bicara soal agama, ini pun tidak bisa dilepaskan golongan-golongan penganutnya. Ada golongan orang-orang fasik (yang tidak patuh), ada yang munafik (mungkin yang satu ini bisa digolongkan kepada para teroris yang mengaku beragama, namun sebenarnya hanya berniat merusak citra agama tersebut), ada yang bener-bener beriman, dan ada yang bertakwa atau patuh. Soal kepatuhan, itulah yang menjadi target atau misi dalam seorang pribadi bertuhan.
Jadi saya rasa, dari sini jugalah kita bisa melihat perilaku orang-orang beragama dengan golongan wataknya tadi. Yang mana yang fasik, yang mana yang beriman dan mana yang taat, saya kira dengan hanya melihatnya secara rasional saja kita sudah bisa menilai.
Dan kembali ke konteks benar dan baik tadi, saya pikir kita memang tidak bisa untuk hanya fokus pada salah satunya. Ada yang memang niat atau tindakannya baik tapi mungkin belum benar, dan begitu pun sebaliknya. Dari situlah kita akhirnya tahu bahwa ini pun tidak bisa dilepaskan dari sikap moderat.
Dalam arti, kita memang harus mengatakan yang benar, tapi juga harus tahu (secara marginal) batas-batasnya sehingga itu tetap dianggap baik oleh masyarakat pada umumnya. Ini sulit, lantaran soal kebenaran, pastinya tidak semua orang bisa menerima dan tidak semua orang mendekatinya, bahkan oleh umat beragama sekali pun. Pengalaman spiritual tiap orang beragama tidak sama dengan yang lainnya. Bukannya pasti selalu ada perbedaan pada berbagai aspek kehidupan?
Dan seandainya saya mengatakan "tidak ada tuhan, yang ada hanya Aku", di sini saya pun mesti mempertimbangkan lagi walaupun ekspresi-ekspresi semacam itu sangat sulit untuk dibendung. Tiap orang ingin mengatakan apa yang dirasakan atau yang dipikirkannya, dan itu wajar. Ah, saya kira Anda pasti tahulah maksud saya. Ini soal bagaimana menjadi seorang yang baik dan benar di hadapan Tuhan maupun di mata manusia.[]