Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Sekolah "Harga Mahal, Kualitas Bagus"?

Diperbarui: 15 Maret 2017   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | sumber gambar: Wartanesia.com

Heran saya, kok kesannya pendidikan itu kayak "diperjual-belikan" ya? Kalau kita berprinsip pada paradigma "harga/biaya mahal, kualitas bagus" itu sih pantas kalau Anda sedang memilih-milih barang. Masalahnya, apa paradigma yang demikian itu pantas dilekatkan pada aspek pendidikan atau sekolahan?

Apalagi saya makin heran saja dengan orang-orang yang membanggakan sekolah mahal. Kalau sekolah murah tapi kualitasnya mahal, itu sih tak apa-apa, dan memang sudah seharusnya begitu. Lha, ini di tengah-tengah masyarakat dimana masih ada anak yang belum bisa sekolah, kok bisa-bisanya sih bangga dengan sekolah mahal? Katanya pendidikan itu penting? Tapi, kok orang mesti ngos-ngosan dulu buat nyekolahin anaknya?

Kalau memang mau membanggakan hal seperti tadi, saya kira itu baru bisa terwujud kalau kita sudah berada pada level "aman". Dalam arti, segala aspek primordial dalam kehidupan berkebangsaan kita, termasuk masalah pendidikan tadi, sudah tak menjadi pikiran sehingga kita tinggal tancap gas mengejar ketertinggalan dan maju bersama-sama. Lha kalau orang yang di bawah masih terseok-seok, lantas gimana kita bisa maju bareng-bareng? Atau jangan-jangan kita mau meninggalkan mereka, sehingga yang maju hanya orang-orang yang memang sudah siap untuk maju, begitu?

Aduh, kompleks bener rasanya. Apalagi yang katanya sekolah berlabel internasional. Saya mungkin harus bertanya, apa sih bedanya dengan sekolah-sekolah negeri? Bukannya, apa saya memag tak tahu banyak. Sedangkan kalau melihat situasi dunia internasional saat ini, kok kesannya malah sedang chaos, jeblok moralitasnya dari berbagai aspek. Ada korelasinya nggak sih soal orientasi "internasional" tadi?

Bukannya apa, karena memang sebuah bangunan sekolah internasional itu pun sedang mulai berdiri di tengah pedukuhan tempat saya berdomisili. Kalau boleh jujur, saya sendiri tak pernah tahu bagaimana kondisi keuangan orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah internasional, lantaran sekolah internasional sendiri memang asing di kuping saya. Apakah anak-anak didiknya akan diwajibkan berbahasa Inggris? Soalnya saya pernah nonton di TV, pada acara talkshow, dimana bintang tamunya adalah seorang anak Indonesia yang jago berbahasa Inggris sampai-sampai dia tak lagi pandai berbahasa Indonesia. Ini beneran lucu bagi saya.

Dari itu juga saya merasa malu sebagai orang yang tak bisa berbahasa Inggris dan bisanya cuma dengerin lagu-lagu bahasa Inggris. Maklum, mungkin karena memang sejak pertama kali belajar bahasa Inggris, saya tak suka mata pelajaran tersebut walaupun saya tak disekolahkan di sekolah internasional.

Kembali ke poin awal, saya jadi bertanya-tanya, apa iya masalah pendidikan atau persekolahan sudah dijadikan ladang bisnis? Kalau memang mau mencerdaskan anak bangsa, kenapa tak dikasih saja sekolah secara cuma-cuma di seluruh negeri ini? Harga buku-buku, pun kalau bisa dimurahin-lah. Lha nyatanya di TV, saya lihat kita begitu apresiatif terhadap guru-guru yang rela berenang dan masuk daerah-daerah terpencil. Lihat semangat mereka, lihat niat mereka, saya pun cuma bisa diam lantaran masuk ke pikiran terdalam. Atau dengan kata lain, kalau memang mau memberi ya beri saja.

Lagian, kita ini mau memberi ilmu atau meminta sih sebenarnya? Mau ngasih ilmu pengetahuan tapi mintanya mahal bener. Atau, jangan-jangan ilmu yang berkualitas itu cuma bisa didapat di sekolah mahal ya? Kok persoalan pendidikan negeri ini terkesan eksklusif begitu? Wah, kalau memang kita bicara soal yang satu ini, ya maunya jangan ada perbedaan jenjang kayak begitu-lah. Toh, semua orang kan harus berpengetahuan? Tak apa sih kalau memang orientasinya internasional, nasional, agamis, dlsbnya. Karena saya pikir, kualitas kecerdasan seorang anak tentu tidaklah disebabkan sepenuhnya oleh faktor di mana dia sekolah. 

Sekolah itu kan hanya penunjang dan sarana pendukung dalam kognisi pengetahuan maupun pengembangan kemampuan seseorang. Apa kognisi pengetahuan itu hanya bersumber semata dari sekolah dan anasir-anasirnya tanpa peran aktif peserta didiknya? Apa seorang anak hanya mesti patuh menjalani segala proses persekolahan tanpa dia belajar sendiri di luar aktivitas sekolahnya tadi? Tak usah dijawablah ya.

Saya tahu ini sangat kompleks, dimana kekeliruan paradigma tentu menjalar ke berbagai aspek sehingga kemudian berimplikasi mengelirukannya. Dan sebagai seseorang yang tugasnya membantu (Helper) di sebuah warung makan sederhana, saya baru direndahkan oleh salah satu manusia (pegawai, staff, atau apalah namanya) di sekolah internasional tersebut waktu sedang nganterin makanan. 

Ah, saya jadi berkonklusi, pasti karena dia kerja di sekolah internasional jadi dia bisa pakai gengsi dan ngatain ke saya "ya udah sana" sambil menyapukan tangannya kayak ngusir manusia jahanam. Padahal sekolah internasional, lho; sekali lagi, sekolah internasional. Saya jadi bertanya lagi, apa sebenarnya ada orang seperti itu di sekolah internasional? Saya heran, soalnya. Maaf, mungkin ini kesan pertama kali yang saya dapatkan terhadap sekolah internasional di tempat saya. Kesan Anda, tentu berbeda dan mungkin lebih baik.[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline