Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Ketika Nabi Isa as. Masih Tetep "Nyeker"

Diperbarui: 8 Maret 2017   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | sumber gambar: necturajuice.com

 Merenung menyaksikan fenomena dan apa apa yang terjadi saat ini, saya jadi berkesimpulan bahwa konstelasi kehidupan hingga detik ini begitu ramai dengan ujian yang semakin memabukkan, mengasyikkan kita.
Berbeda dengan zaman dulu dimana segalanya serba terbatas. Dulu belum ada ponsel, belum ada pesawat, belum ada listrik, lampu, atau dengan kata lain teknologi maupun istilah teknologi itu sendiri belum ada, belum semaju sekarang. Juga, coba lihat di televisi, dimana iklan-iklan  secara eksplisit menyuruh kita untuk membeli, menggunakan produk-produk yang tidak lagi dibeli atas dasar kebutuhan dan keterbatasan melainkan atas dasar kenikmatan, kesenangan. Ah, susah hidup sekarang ini; Paradoks, dalam arti, semuanya serba mudah tapi di sisi lain justru melalaikan kita sehingga kita tidak lagi sadar bahwa kita adalah makhluk yang serba terbatas. Akhirnya kita pun tidak lagi mempelajari sejarah mbah-mbah kita yang hidup di gelap-gelapan dan seolah-olah dengan kita yang begini sekarang ini, kita memisahkan diri dari sejarah. 'Mereka dulu kan masih ketinggalan zaman, jangan samakan dong dengan saat ini,' kan begitu kira-kira? Saya sempat membayangkan juga seandainya saya masih diberi tempo masa hidup sampai Nabi Isa as. atau Yesus nanti diturunkan ke dunia. Saya membayangkan, di tengah segala kegemerlapan dan kenikmatan ini, bukannya tidak mungkin Nabi Isa atau Yesus masih tetep nyeker kemana-mana tak memakai sandal atau sepatu; masih setia dengan kezuhudannya; masih setia dengan life-syle asketisnya. Sekarang, apa bedanya sih saat ini dengan masa lalu? Toh kita sama-sama berhadapan dengan kenikmatan dunia? Orang-orang terdahulu dan sekarang sama-sama merasakannya, walaupun tentu konstelasinya berbeda. Bahkan nabi bapak beranak seperti Daud dan Sulaiman masih tetap menjaga jarak dengan segala kenikmatan dunia sekalipun mereka ditakdirkan menjadi raja secara turun menurun. Terkadang saya suka menarik nafas dalam-dalam kalau melihat kondisi sekarang. Kita lebih sibuk dengan apa yang kita punya sampai-sampai lupa dengan diri kita sendiri. Bagaimana sih diri kita sebenarnya? Kita merasa telah melampaui keterbatasan, padahal kita sebenarnya tak mampu menciptakan teknologi yang ada di sekitar kita. Kita bisa apa selain hanya memencet dan menyentuhnya? Hanya segelintir orang yang bisa menciptakan semua itu. Pada akhirnya kita pun bisa saksikan bahwa secara tidak langsung kita telah terpengaruh propaganda untuk hidup liar, hidup membebaskan kemauan dan hawa nafsu diri sekehendak kita. Padahal, secara tidak disadari juga sebenarnya kita telah terperangkap ke dalam sistem-sistem dan sub-sub sistemnya yang begitu berlapis. Sistem-sistem itu tentunya ibarat rantai yang mengikat. Dan kalaupun mau melepaskan diri darinya tentu usaha tersebut seolah meminta sebuah pengorbanan yang sangat berat bagi seseorang, katakanlah ' sang pemberontak kehidupan' tadi. Kita telah terkepung, telah terikat dan sulit lepas. Manusia dipaksa untuk mengikuti, dan jika tidak mengikuti konsekuensinya akan ada impresi-impresi tertentu yang melekat pada dirinya di mata orang lain. Pastinya dia harus berani tersendirikan dari keramaian manusia yang beramai-ramai mengejar aspek-aspek duniawi. Atau, jangan-jangan sebenernya mayoritas manusia tersebut malah digiring, digembalakan bagaikan domba oleh sistem-sistem keduniawian itu? Dengan kata lain, kita di belakang mengejar, atau kita berada di depan karena digembalakan? Akhirnya dari hal ini juga saya lebih sering komat-kamit sendiri karena di pikiran saya selalu terbayang semacam tulisan 'dunia beserta kenikmatannya adalah penghalang.'




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline