Lihat ke Halaman Asli

Iya Oya

Laki-laki

Karena Akal, Jadi Begini Begitu

Diperbarui: 4 Maret 2017   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | sumber gambar: www.nga.gov

Melihat sesuatu dari sudut pandang seorang manusia memang serba terbatas; seseorang akan sulit untuk dapat memahami perbedaan-perbedaan dan keterpisahan yang sebenarnya tidaklah sebagaimana persepsi pada umumnya. Dan bisa katakan untuk dapat memahami sesuatu dari sisi eksternal semacam itu, hal ini hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.

Tapi yang pasti selama manusia masih mengandalkan akalnya untuk memahami suatu fenomena, dia hanya akan memahami sesuatu itu secara subjektif atas penilaian baik-buruk atau suka-tidak suka. Ini terjadi di sekitar kita. Sayangnya, mungkin laku spiritual, yang seharusnya bisa membuat seseorang memandang tanpa subjektivitas, ini pun sudah kita tinggalkan karena kesibukan yang terlalu padat. Bagaimana kita bisa berpikir dengan pola pikir Tuhan dan memahami secara mendalam kalau waktu untukNya pun sangat sedikit kita curahkan? Intelektual saja, saya kira tidak bisa menjadi cara untuk mengikuti pola pikirNya.

Masalahnya, kita tak akan bisa menyatukan hal-hal parsial itu selama kita berada dalam posisi sebagai makhluk. Tentang apa dan bagaimana diri kita saja, ini juga sangat sedikit kita ketahui. Dan tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain bertanya dan mendekati Sang Pencipta. Tidak akan bisa kita bertanya pada orang lain lantaran persepsi yang kita terima pasti akan berbeda dengan pengalaman langsung dalam usaha mendekatiNya. Jadi tak usah perempuan melulu yang diutamakan. Banyak-banyak mendekati Tuhan juga merupakan orientasi primordial kita sebagai ciptaanNya. Bukannya hal itu juga yang menjadi jawaban kenapa kita diciptakan?

Saya sendiri tadinya begitu bergantung pada konklusi orang lain sampai saya sadar kalau seseorang mengatakan dunia ini begini-begitu, pastinya pengetahuan tersebut tidak akan sampai ke dalam jiwa melainkan hanya sebatas akal. Bagaimana kita tahu rasa pedas kalau kita belum pernah merasakan makan sebiji cabe rawit? Kalaupun melihat dari ekspresi-ekspresi orang yang sedang kepedasan, dari situ pun bayangan imaji kita tidak akan sesuai dengan ketika kita langsung mengunyah cabe rawit tadi.

Syukurnya kita dikaruniai perasaan untuk dapat mengetahui dan merasakan suatu fenomena secara langsung. Dan saya kira, daya rasa ini juga sebenarnya menjadi suatu daya kognisi sebagaimana akal manusia. Kalau akal mempunyai nalar, maka hati mempunyai daya rasa. Lagian saya meyakini bahwa sebuah intuisi itu bekerja melalui hati tadi yang kemudian disebut hati nurani, atau hati yang bisa menerima cahaya dari-Nya sehingga kemudian di berada dalam bimbingan cahaya Tuhan. 

Tapi soal bagaimana cara kerjanya sehingga seorang spiritualis bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan primordial semacam itu, pastinya akal pun sangat terbatas untuk dapat menjawabnya. Dan secara tidak langsung pada persoalan inilah akhirnya kita mengetahui bahwa akal memang memiliki keterbatasan.

Kembali ke konteks awal, apakah berbagai fenomena ini benar-benar terpisah, justru saya sendiri melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Lagian kita memang terbatas untuk dapat mengetahui rangkaian kausalitas kecuali hanya fragmen-fragmen yang parsial. Lagipula saya rasa, untuk dapat memahami perbedaan-perbedaan semacam itu mau tak mau kita harus mengikuti fenomena (juga kehidupan ini) secara apa adanya. Nyatanya, kita seringkali menentang hal itu dan lebih mengikuti pikiran kita. Padahal, apa yang ada pada pikiran kita tidak akan bisa menjawabnya dan akan selalu menafikan.

Dari hal tersebut akhirnya saya menyadari bahwa ini semua tak terlepas dari sikap "berserah diri", terutama dalam kaitannya terhadap pikiran. Kalau hal demikian dianggap sebagai sikap anti-intelektual, sebagaimana para spiritualis mengatakan demikian, saya kira maksudnya bukan seperti itu. Lagipula yang namanya akal kan pastinya harus digunakan walaupun dalam penggunaannya ada batasan-batas tertentu dan tidak seharusnya akal "diagung-agungkan" dalam kehidupan kita.

Sekali lagi, bukan akal yang akan membawa kita mendekati kebenaran melainkan perasaan. Nyatanya, dengan akal, manusia seringkali merasa (sok) tahu. Dan ketika kita menghadap Tuhan, merasakanNya dengan perasaan, apa di situ kita masih merasa tahu? Padahal, kita tak mengetahui apa-apa. Bukannya karena akal atau pikirkanlah yang membuat kita merasa begini-begitu? Tapi, dalam ketidaktahuan tadilah kita tak sadar kalau Dia sedang memberitahu kita. Dan sampai sekarang saya sendiri masih merasa nyaman sebagai seorang yang tidak tahu. Lagian kalau saya sudah merasa tahu pastinya saya akan malas belajar, malas memahami, malas mendekati Tuhan juga, pastinya.[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline