Seorang teman membagikan link blognya di grup whatsapp. Bertepatan aku punya waktu luang untuk membaca, tanpa menunggu lama aku langsung mengunjungi blog yang dimaksud. Di sana penulis menceritakan kisahnya yaitu sebuah kegiatan yang baru saja ia ikuti dan terlibat di dalamnya sebagai salah seorang pemusik.
Saat sedang membaca tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis. Sudah lama juga aku tidak menulis. Mungkin 'dewa menulis' belum mendatangiku. Ah, itu cuma alasan doang. Tapi aku mau menulis apa? Setelah membuang-buang waktu cukup lama untuk merenung, kuputuskan untuk menulis hal-hal yang kudapatkan dari seminar yang diadakan tanggal 25 Agustus yang lalu.
Areopagus Education Summit 2, itulah nama seminar dan workshop yang kuikuti kemarin. Dari namanya saja sudah ketahuan isi dari seminar ini. Ya, tentang pendidikan. Seminar ini merupakan yang kedua kalinya diadakan. Yang pertama diselenggarakan tahun lalu yang juga aku hadiri. Tahun ini panitia menyediakan tema E-Society: How It Transforms Education.
Ada enam topik dan satu workshop yang dibahas dalam seminar tahun ini. Enam topik tersebut dibawakan oleh para pemateri yang ahli di bidangnya. Topiknya antara lain: Education: A Strategic Investment (oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., CBE.), Think Globally Act Locally in Education (oleh Dr. Masduki Ahmad, S.H., M.M.), Inspriation and Teaching Digitally (oleh Dr. Nuhattati Fuad, M.Pd.) Tantangan Kurikulum Pembelajaran di Indonesia dan Workshop: How to Think Critically (oleh Weilin Han, M.Sc.), dan terakhir, VUCA on Education dan The E-Society Transforms Education (oleh Tumbur Tobing, S.E., MBE., MCS.).
Membaca topik yang disediakan oleh panitia inilah yang awalnya membuatku bergairah untuk mendaftarkan diri. Bagaimana tidak, topik-topik seperti ini langka sekali, bahkan tidak pernah disampaikan pada berbagai pelatihan yang selama ini aku ikuti di lingkungan dinas pendidikan di tempatku berada. Biasanya hanya membahas seputar implementasi kurikulum baru yang mana tidak membawa perubahan pada cara mengajar guru di kelas.
Seminar dibuka oleh dua siswi SMA. Mereka menceritakan aktivitas di sekolah, dampak penggunaan fasilitas yang serba digital, dan pandangan orang tua mereka terhadap gadget. Dua siswa ini sangat percaya diri. Mereka memiliki kemampuan public speaking yang sangat baik.
Di sekolah, mereka didorong untuk menggunakan gadget dengan baik dan benar. Artinya, tidak melulu untuk bermain (game) seperti kebanyakan anak zaman now. Gadget sudah digunakan sebagai sumber dan media belajar di kelas, seperti menggunakan laptop dan smartphone.
Meskipun demikian, mereka dilatih untuk tidak bergantung sepenuhnya. Guru kadang-kadang memberikan penugasan yang membutuhkan interaksi antarsiswa, dilatih menggunakan alat belajar secara manual, serta dilatih untuk mengenal pandangan/pemikiran yang berkembang di masyarakat sekitar.
Penentangan justru didapat dari orang tua mereka yang sering menganggap mereka menggunakan gadget hanya untuk bermain. Sebenarnya mereka sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah, begitu curhatan mereka. Memang saat ini banyak orang tua begitu mengkhawatirkan sang buah hati yang telah kecanduan menggunakan gadget.
Ada dua generasi yang bertemu di sini. Generasi pertama yaitu orang tua yang tidak biasa dengan gadget, dan sang anak yang sejak lahir telah mengenal gadget. Generasi sekarang memang bisa dikatakan sebagai native secara digital. Ketika dilahirkan dan mulai tumbuh besar, mereka sudah mengenal gadget. Jadi, sudah sewajarnya bila dunia pendidikan (sekolah) berubah mengikuti perkembangan zaman. Bagaimana dengan pendidikan Indonesia saat ini?
I