Lihat ke Halaman Asli

Birokrasi, Oh Birokrasi

Diperbarui: 31 Maret 2018   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dosenpendidikan.com

Katanya -- entah kata siapa -- menuangkan  kekesalan dalam bentuk tulisan memberikan kelegaan dalam hati. Itulah tujuan tulisan singkat ini. Dibaca silakan, tidak dibaca tidak masalah. Toh tulisan ini ditujukan untuk diri sendiri yang sedang kesal.

Apakah yang membuat aku kesal? Begini ceritanya: bulan februari lalu aku mengurus surat izin memimpin di dinas pendidikan. Karena aku bertugas di Bogor, Jawa Barat, maka aku mengurus surat tersebut ke Bandung. Ada 12 persyaratan yang aku harus siapkan. Termasuk surat rekomendasi dari pengawas sekolah.

Tiga di antara persyaratan itu merupakan surat pernyataan yang harus aku tanda-tangani di atas materai. Persyaratan lain berupa surat keputusan yang dikeluarkan oleh yayasan serta fotokopi ijazah, dlsb. Artinya persyaratan tersebut benar-benar penting.

Semua persyaratan sudah aku lengkapi. Tiba saatnya mengantarkannya ke Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat yang berada di Bandung. Saat itu tanggal 14 Februari. Aku berangkat pukul 05.30 WIB agar bisa mendapatkan bus pertama yang menuju Bandung. Tetapi, meskipun sudah berangkat pagi, tiba di Bandung jam 12 siang. Penyebabnya adalah kemacetan di tol karena ada proyek pembangunan.

Sesampainya di kantor dinas di Bandung, aku lapor dan mengisi buku tamu di meja resepsionis. Aku mendapat sambutan yang sangat baik. Penerima tamu menunjukkan ruangan yang ingin aku tuju. Aku bergegas ke sana.

Di sana ternyata ada puluhan orang yang datang dengan berbagai urusan. Sayangnya, tidak ada antrian yang rapi. Hanya ada satu petugas berseragam satpam. Semua berebut untuk menjadi yang pertama hingga satpam kewalahan menerima berkas yang diserahkan ke tangannya secara bersamaan. 

Ketika satu-dua berkas atau map sampai ke tangannya, satpam tersebut masuk ke ruangan khusus yang hanya boleh dimasuki oleh petugas. Ketika satpam keluar, maka orang kembali mengerumuninya untuk menanyakan berkas mereka atau ada menyerahkan berkas baru. Begitu terus sampai giliranku tiba.

Karena melihat situasi yang tidak tertib, maka aku juga mencoba "peruntungan" dengan mengejar satpam sebelum dia masuk ke ruangan dalam. Berkasku diterima. Aku menunggu sekitar 15 menit. Satpam menyerahkan kartu kuning tandanya berkasku telah diterima dan aku diminta untuk kembali sebulan lagi untuk mendapatkan surat izin memimpin yang kuminta.

Sebulan kemudian, aku kembali. Tidak lupa membawa kartu kuning sebagai tanda bukti. Kemacetan di tol Cikampek sampai Karawang kembali kuhadapi. Ketika tiba di kantor dinas, penerima tamu kembali menyambut dengan ramah dan menunjukkan ruangan yang kutuju yaitu lantai 4. Di sana aku sempat kebingungan karena berbeda dengan sebelumnya ketika aku menyerahkan persyaratan.

Aku menemui seorang pegawai dan bertanya kepada siapa aku harus ambil surat yang kumaksud. Aku diantar ke meja seorang pegawai, namanya Bu Ani (bukan nama sebenarnya). Inilah kekesalanku pertama: surat yang kuinginkan tidak ada. Bahkan berkas persyaratan yang kuserahkan sebulan lalu tidak ada.

Aku tidak tahu bagaimana bisa dinas setingkat provinsi bisa melakukan hal seperti ini. Persyaratan yang kubuat dengan susah payah, katanya tercecer entah di mana. Tidak ada seorang pegawai pun di sana yang tahu. Malahan mereka saling lempar tanggung jawab hingga aku beberapa kali bolak-balik pindah meja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline