Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh guru di sekolah adalah bagaimana memberikan hukuman yang tepat kepada peserta didik. Tidak hanya guru, termasuk pula orang tua. Salah memberikan hukuman bisa dianggap sebagai kekerasan kepada anak. Untuk lebih memahaminya kita perlu mengetahui perbedaan antara hukuman dan kekerasan.
Hukuman dan kekerasan mungkin sama-sama berpotensi menyakiti (melukai) baik psikis maupun fisik, bisa pula sama-sama bertujuan untuk menghentikan perilaku-perilaku tertentu. Namun, hukuman lebih dilandasi komitmen moral dengan tujuan mendidik. Sedangkan kekerasan dilakukan bukan dalam rangka mendidik. Di sana terdapat emosi―misalnya amarah atau kekesalan―dan dampaknya berbahaya bagi fisik maupun psikis anak.
Pemberian hukuman
Hukuman sebenarnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan karena melanggar norma yang berlaku. Dalam teori perilaku (behavior), hukuman merupakan penguat negatif yang bisa berupa pelemahan atau penekanan perilaku tertentu, atau penghilangan perilaku. Tentu perilaku yang ingin dilemahkan, ditekan atau dihilangkan adalah perilaku yang tidak sesuai aturan. Singkatnya, hukuman merupakan salah satu alat dalam mendidik.
Untuk lebih jelas kita perlu mencari pandangan lain tentang pemberian hukuman pada peserta didik. Cicero (106 S.M – 43 S.M.) mengemukakan pendapatnya tentang hukuman, yaitu bahwa: (1). Hukuman fisik sebaiknya diberikan ketika semua hukuman lainnya gagal mendisiplinkan anak; (2). Anak sebaiknya jangan direndahkan dengan cara hukuman. Artinya, hukuman tidak bermaksud merendahkan atau mempermalukan anak; (3). Hukuman sebaiknya jangan pernah diterapkan dalam kemarahan; (4). Hukuman sebaiknya ditangguhkan hingga cukup waktu untuk refleksi bagi guru dan murid; (5) Alasan-alasan untuk hukuman sebaiknya diberikan. Anak harus memahami mengapa ia dihukum; (6) Anak dibimbing untuk melihat keadilan dari hukuman yang dibebankan.
Menurut Martin dan Pear (dikutip oleh M. Djamal, 2016), hukuman lebih efektif apabila memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: (1). Waktu yaitu kapan hukuman harus diberikan dan dihentikan. Hukuman juga harus memperhatikan usia anak; (2), Alasan yaitu pemberian hukuman harus disertai alasan yang objektif dan benar bukan pertimbangan subjektif; (3). Konsisten yaitu bahwa hukuman diberikan sesuai dengan perilaku tertentu yang ditetapkan; (4). Didasarkan perasaan kasih sayang.
Berdasarkan dua pandangan di atas, jelas bagi kita bahwa hukuman dilandasi pada komitmen moral, melibatkan berbagai pertimbangan (waktu, usia anak, emosi), dan konsistensi. Bahkan, Cicero menyarankan agar hukuman fisik dijadikan alternatif terakhir. Mengapa? Menurut saya, agar kita memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan mengapa anak dihukum. Bisa juga untuk meredakan amarah kita sehingga menghindarkan kita dari tindakan kekerasan.
Selain itu, orang bijak pernah berkata, “engkau memukulnya dengan tongkat, tetapi engkau melepaskan jiwanya dari alam maut”. Ajaran ini tentang mendidik seorang anak atau membentuk moralnya. Misalkan, seorang anak melakukan perbuatan mencuri. Setelah ditegur berkali-kali, lalu diberi penjelasan bahwa seseorang tidak boleh mengambil yang bukan hak (milik)-nya, tetapi si anak masih melakukan atau mengulangi perbuatannya, maka hukuman fisik diterapkan. Ini demi keselamatan jiwa si anak kelak. Lagipula, bila dilandasi kasih sayang dan moralitas si anak, maka pemberian hukuman fisik tidaklah mungkin sampai mencelakai si anak. Seorang pendidik (baik orang tua maupun guru) tidak boleh, sekali saja pun, membiarkan perbuatan buruk anak menjadi kebiasaan.
Tindakan kekerasan
Bagaimana dengan kekerasan? Kekerasan merupakan perilaku seseorang kepadaorang lain dengan maksud menyakiti atau melukai. Berbeda dengan pemberian hukuman, kekerasan bukan dalam rangka mendidik. Beberapa tindakan yang termasuk dalam kekerasan yang sering ditemui di sekolah, antara lain: memukul, mencubit, memelintir, menampar, berdiri di depan kelas, push up beberapa kali, membersihkan kamar mandi, lari keliling lapangan, mengusir dari kelas, menjemur, sampai kekerasan seksual. Sekilas beberapa tindakan di atas bukanlah kekerasan, melainkan hukuman. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh pendidik.
Umumnya tindakan kekerasan terjadi karena disebabkan oleh: siswa ramai di kelas, siswa datang terlambat, tidak mengerjakan tugas, mengganggu teman, dan lain sebagainya. Tindakan fisik, seperti memukul, sering dipicu oleh rasa kesal sang guru. Apalagi siswa tersebut sudah berulang kali berulah. Tidak ada jeda bagi siswa untuk memikirkan ulang perbuatan (salah)nya sebab guru tidak memberikan penjelasan. Atau juga hanya dengan penjelasan singkat, lalu langsung memukul siswa. Dengan kata lain, pendidik memberlakukan tindakan kekerasan karena didasari oleh pandangan subjektif dan disertai rasa kesal atau marah.