Ketika dikatakan bahwa tiada manusia yang sempurna, pikiran kita mudah tertuju pada kesimpulan awal bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan bahwa kekurangan ini adalah sisi kurang elok atau ideal yang membatasi ruang gerak setiap orang. Dan sampai pada batas tertentu, anggapan ini ada benarnya.
Tendensi irasional seperti bias pikir, narsisme, arogansi, iri hati, dan sebagainya adalah kekurangan yang jelas-jelas tidak dapat ditampilkan sesuka hati di ranah publik. Seandainya tidak ada dampak negatif dari sikap-sikap seperti ini, kita mungkin akan bersikap sesuka hati. Dan oleh karena adanya potensi dampak negatif semacam inilah, ruang gerak kita menjadi terbatas.
Kendati kita suka membayangkan bahwa kita memiliki kendali atas diri beserta segala perilaku, sikap, dan tindakan yang kita pilih, kita kerap meremehkan kuatnya pengaruh emosi dan ketidaksadaran dalam mendikte setiap langkah hidup kita.
Kita mengamini gambaran ideal atas diri kita, memilih bukti eksternal yang dapat mendukung anggapan pribadi sekaligus memanjakan ego, dan pada akhirnya memutus hubungan kita dengan realita di dalam dan luar diri, terutama mengenai bagaimana dunia memandang kita dan seberapa dekatnya kita dalam memahami jati diri kita.
Rasionalitas yang kita bayangkan senantiasa menuntun gerak-gerik kita nyatanya adalah perkakas yang membutuhkan upaya pengasahan yang disengaja dan ini tentunya bukan usaha yang mudah. Dan pun ketika kita merasa sudah cukup rasional, reaksi kita terhadap kekurangan yang kita miliki lebih seperti orang yang berusaha membuang sampah diri ketimbang mencoba merangkul dan memanfaatkan sisi buruk kita.
Sebagaimana narsisme yang memiliki potensi untuk diubah menjadi empati karena keduanya memiliki pendasaran yang sama pada sensitivitas emosional namun hanya berbeda pada titik fokusnya (narsisme menekankan sensitivitas ke dalam diri sendiri, sedangkan empati adalah sensitivitas ke dalam ruang mental orang lain), berbagai tendensi buruk yang melekat pada kepribadian kita juga sejatinya dapat diberdayakan menjadi hal-hal yang lebih positif.
Demikian juga dengan kesadaran bahwa kita kerap kali mengenakan "topeng" ketika berhadapan dengan orang lain. Kita bersikap ramah, rendah hati, percaya diri, bersahabat, dan sebagainya pada situasi sosial, kerap kali lebih dikarenakan kita tidak ingin orang lain melihat sisi yang kurang mengenakkan dari diri kita.
Naifnya kita, dalam situasi sebaliknya kita justru menganggap topeng yang orang lain kenakan sebagai realita tentang orang tersebut. Menyadari adanya "topeng" ini pada setiap orang semestinya memampukan kita untuk dapat memahami orang lain dengan lebih baik. Kita juga harusnya lebih dapat memahami bagaimana cara menempatkan diri dan "topeng" apa yang semestinya dikenakan pada berbagai situasi sosial.
Dalam hal menyikapi egoisme dan delusi ketika kita menilai diri sendiri, pahami juga bahwa kita mungkin memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap betapa mandiri, baik, dan cerdasnya kita sebagai seorang manusia. Penilaian ini, lebih dari sekedar menipu kita, turut mendorong kita untuk menjadi lebih tertutup dan defensif terhadap input yang kita peroleh dari dunia luar.
Memahami bahwa orang lain pun mungkin didera delusi yang sama (bahwa masing-masing merasa dirinya mandiri, baik, dan cerdas), ke depannya kita akan menyesuaikan cara kita dalam berinteraksi dengan mereka. Kita sadar bahwa tidak ada hal baik yang akan tercipta ketika perkataan dan tindakan kita secara langsung menyerang delusi tersebut. Bahwa untuk mempengaruhi pikiran, perkataan, dan tindakan orang lain, justru dibutuhkan kerjasama dengan delusi tersebut.