Lihat ke Halaman Asli

Satya Anggara

Academic Researcher and Investor

Mengelola Keuangan Pribadi dengan Waras

Diperbarui: 29 Juli 2024   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: https://internationalbanker.com/brokerage/micro-investing-accessible-investing-for-everyone/

Lebih dari 90% kekayaan Warren Buffett saat ini diperolehnya setelah ulang tahunnya yang ke-60. Demikian yang disampaikan oleh Morgan Housel dalam bukunya, The Psychology of Money. Apa yang menjadi kunci kesuksesannya dalam berinvestasi? Apa yang membedakannya dengan orang awam seperti kita dalam mengelola uang?

Uang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Salah satu sumber sejarah mengungkapkan bahwa penggunaan uang sebagai alat tukar sudah dimulai sejak zaman Mesopotamia pada tahun 2.100 SM. Kendati demikian, sistem keuangan modern sendiri belum begitu lama mencapai bentuknya saat ini.

Instrumen seperti dana pensiun, reksadana, dsb, misalnya, baru lahir di abad ke-20, terutama setelah berakhirnya Perang Dua 2 akibat adanya kebutuhan untuk menunjang hidup para pensiunan perang dan juga untuk memanfaatkan kekayaan yang tercipta pada era kemajuan ekonomi setelah berakhirnya perang. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat dunia hari ini masih dalam tahap meraba-raba, menguji dan mempelajari apa yang dapat bekerja dan tidak dapat bekerja dalam konteks pengelolaan keuangan. Keberhasilan dan kegagalan yang dicapai oleh masing-masing orang lantas mempengaruhi pula bagaimana mereka mempersepsikan peluang dan tujuan finansialnya.

Kendati tahapan ini dapat berguna dalam membentuk pemahaman kita mengenai bagaimana cara mengelola keuangan kita, tidak sedikit dari kita yang kerap mengulangi kesalahan yang sama, terutama ketika situasi real menyajikan kondisi yang kurang mengenakkan.

Contohnya saja: kita semua yang menggeluti dunia investasi pasti paham bahwa kunci untuk memperoleh keuntungan adalah dengan membeli instrumen keuangan (misalnya saham) di harga yang rendah dan menjualnya ketika harganya tinggi. Akan tetapi ketika tiba krisis ekonomi, dorongan emosi mendorong kita untuk melakukan hal terburuk yang dapat kita lakukan, yaitu menjual dengan harga rendah.

Mengapa kesalahan semacam ini terus terulang, bahkan oleh kalangan profesional di bidang keuangan?

Menurut Robert Greene dalam bukunya yang berjudul The Laws of Human Nature, kita kerap membayangkan diri kita memiliki kendali atas nasib lewat perencanaan dan pemikiran yang matang. Akan tetapi kita lupa atau mungkin tidak menyadari seberapa besar pengaruh sisi emosional dalam keseharian kita, termasuk di dalamnya mengenai bagaimana kita mempersepsikan realita. Dengan kata lain, kita salah dalam memperkirakan seberapa mampu kita untuk bersikap rasional.

Rasionalitas tidak datang dengan sendirinya sebagaimana organ tubuh yang melekat pada kita dari sejak lahir. Sebagai perkakas yang berkembang belakangan dalam proses evolusi manusia, rasionalitas perlu dilatih dan dikembangkan. Emosi, pada sisi lain, adalah komponen alamiah manusia yang lebih mudah untuk dipantik keluar oleh situasi akibat kecenderungan kita untuk mencari pola dan penjelasan intensional atas apa yang terjadi di sekitar kita.

Pekerjaan di kantor tidak selesai padahal kita sudah bekerja semalaman suntuk? Oh pasti ada orang iri yang menyabotase pekerjaan itu! Demikian kira-kira contoh respon emosional yang mendera sebagian di antara kita. Respon semacam ini menarik kita dari dunia sekitar, memutus hubungan antara kita dengan kondisi sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline