Energi adalah mata uang dunia yang sebenarnya. Demikian pandangan seorang YouTuber merangkap ekonom yang penulis simak setengah tahun lalu, jauh sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai dan jauh sebelum kekhawatiran mengenai harga bensin membuat masyarakat kalap memborong Pertalite di mana-mana.
Isu mengenai energi, utamanya minyak bumi, selalu menjadi barang panas yang memicu diskursus pada berbagai lapis kelompok masyarakat. Entah itu para pakar dan politisi yang berdebat kusir di stasiun TV, para sopir angkot dan ojek online yang operasionalnya bergantung pada ketersediaan bensin di SPBU, hingga para pemilik warung makan yang harga bahan pokok dagangannya dipengaruhi oleh ongkos kirim.
Minyak bumi dalam sejarahnya dapat dipandang sebagai komoditas dengan volatilitas harga yang tinggi. Saat negara-negara Arab melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat di tahun 1900-an, fenomena kelangkaan dan kenaikan harga bensin juga terjadi di AS sebagaimana yang terjadi di Indonesia dalam beberapa kesempatan.
Pada periode 2020--2021, sebaliknya, harga kontrak komoditas minyak bumi justru berada pada zona negatif sebagai akibat dari persediaan yang melimpah dan permintaan yang merosot akibat kebijakan lockdown di sebagian besar negara.
Kali ini pun harga minyak kembali meroket, bahkan hingga melampaui rekor tertingginya selama setidaknya 10 tahun terakhir. Penyebabnya, menurut mayoritas pengamat, adalah perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok minyak bumi dari Rusia sebagai akibat dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat kepada negara pimpinan Vladimir Putin tersebut.
Kendati exposure Indonesia terhadap ekonomi Rusia tidak sesignifikan exposure yang mendera negara-negara Eropa yang sebagian besar pasokan gas buminya berasal dari Rusia, pada akhirnya kita turut merasakan dampak perang tersebut yang tercermin dari lonjakan harga bensin di pasaran.
Uniknya dari sisi Ukraina, ekonomi Indonesia sebetulnya memiliki exposure yang tidak kecil. Kita selama ini banyak mengimpor gandum dan produk turunannya dari negara-negara seperti Ukraina.
Hal ini yang pada awal perang memicu kekhawatiran di tengah masyarakat kita mengenai potensi kenaikan harga produk-produk olahan gandum seperti misalnya mie instan. Akan tetapi, setidaknya sampai hari ini, dampaknya belum sesignifikan kenaikan harga minyak bumi.
Kembali ke persoalan mengenai kenaikan harga bensin, khususnya Pertamax, sebetulnya tanda-tandanya sudah dapat diamati jauh sebelum dimulainya perang Rusia-Ukraina.