Dalam dunia pasar modal, khususnya pasar saham, dikenal dua jenis investor, yakni investor ritel dan investor institusional. Di samping terdapat perbedaan dari sisi jumlah individu yang mengelola dana investasi, besaran dana yang dikelola juga menjadi pembeda utama di antara keduanya.
Dari distingsi ini juga biasanya terdapat perbedaan dari sisi dampak yang dihasilkan oleh aksi kedua jenis investor ini, di mana investor ritel hampir-hampir tidak mampu mempengaruhi pergerakan harga di pasar, sedangkan investor institusional lebih memiliki kemampuan untuk menghasilkan pengaruh semacam ini.
Kalangan institusi umumnya tidak berkutat dengan saham-saham microcap dengan alasan bahwa dampak yang dihasilkan oleh saham semacam ini sangatlah kecil terhadap portfolio mereka secara keseluruhan (kendati perkembangan situasi belakangan menunjukkan institusi turut "menggoreng" saham microcap untuk memperoleh keuntungan instan). Sebaliknya, dana mereka lebih banyak diinvestasikan pada saham-saham bluechip dengan kapitalisasi triliunan rupiah.
Hal ini umumnya juga dikarenakan investor institusional mengelola dana yang dihimpun dari para kliennya seperti pada dana pensiun, reksadana, dan sebagainya, sehingga setiap investasi yang dilakukan perlu memiliki dampak yang sepadan.
Sebaliknya, kendati investor ritel dapat memperoleh potensi keuntungan (atau kerugian) yang signifikan dari saham-saham microcap, terdapat beberapa jenis pasar, produk, dan transaksi yang sulit untuk diakses akibat keterbatasan modal yang kalangan ini miliki.
Misalnya saja, pada bursa berjangka, di mana nominal transaksi minimumnya jauh lebih besar ketimbang di pasar saham, tidak banyak pihak dari kalangan investor ritel dari pasar saham yang mampu ikut serta berinvestasi di sini.
Selama ini terdapat anggapan bahwa investor institusional lebih mampu dalam hal mengelola investasi ketimbang investor ritel sehingga lebih banyak orang kemudian menginvestasikan uangnya ke dalam instrumen seperti reksadana, ketimbang misalnya, bertransaksi langsung di pasar saham.
Paparan dari Bareksa pada Agustus 2020 dengan mengutip data yang dirilis oleh KSEI dan OJK menyatakan bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat pertumbuhan jumlah investor reksadana sebesar 30% menjadi 2,3 juta investor. Angka ini bukan hanya lebih besar ketimbang pertumbuhan jumlah investor secara keseluruhan yang sebesar 21,66%, melainkan juga lebih besar dari pertumbuhan jumlah investor saham (ritel dan institusional) yang hanya naik 15,88% menjadi 1,28 juta investor.
Reksadana umumnya diperlakukan sebagai gerbang awal dunia investasi bagi para "amatir" yang dianggap belum terlalu memahami seluk-beluk pasar modal dan cenderung lebih berisiko mengalami kerugian. Dengan menitipkan uang mereka kepada para manajer investasi profesional, diharapkan risiko dapat diminimalisir dan para investor dapat memperoleh imbal hasil yang cukup memuaskan.
Pertanyaannya, apakah para profesional ini betul-betul mampu memberi imbal hasil yang sepadan dengan tingkat kepercayaan para investornya?