Pilkada 2020 sudah di depan mata. Antara dilaksanakan di bulan Desember 2020 atau Maret 2021 seperti yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanya soal kesepakatan yang sifatnya teknis.
Demikian pula dengan siapa figur yang akan maju di daerah masing-masing sebagai calon kepala daerah, hal tersebut hanya masalah kalkulasi politik para elit.
Sebanyak mungkin masyarakat diharapkan berpartisipasi untuk memilih di hari H pencoblosan, kendati tidak memilih siapapun juga sebetulnya merupakan sebuah bentuk pilihan. Tapi penulis tidak akan masuk ke sana kali ini.
Pilkada di tengah pandemi boleh jadi merupakan yang pertama di Indonesia. Dengan masih ganasnya penularan virus Covid-19, semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil dibuat kebingungan. Bagaimana kita dapat tetap menyelenggarakan "pesta demokrasi" di tengah kekhawatiran penyebaran virus saat berkerumun di TPS, sedangkan lazimnya hajatan kecil sekalipun terpaksa diurungkan dewasa ini?
Mungkinkah dilakukan pemungutan suara secara daring dari rumah masing-masing? Ah, rasa-rasanya solusi ini sulit terwujud dalam waktu dekat.
Di samping infrastruktur penunjang belum memadai, kita masih memiliki kebiasaan untuk gampang curiga terhadap akuntabilitas sistem elektronik yang dijustifikasi oleh pengalaman traumatis selama ini seperti misalnya kisah pencurian data pribadi atau manipulasi akun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan lain.
Ketimbang berbicara mengenai teknikalitas Pemilu, mari berbicara mengenai aspek yang lebih mendasar, yakni dinamika dunia politik berikut relasi yang terjalin di dalamnya serta bagaimana kita dapat memanfaatkan situasi saat ini untuk mengubah cara pandang kita terkait proses demokrasi yang terjadi di dalam kontestasi Pemilu 2020.
Terlihat terlalu besar dan rumit? Mari kita kupas dulu sampai habis sebelum mengambil kesimpulan terlalu dini.
Pertama, kita mulai dengan demokrasi. Jika kita menelaah demokrasi pada tataran teoretis, ia lahir sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa manusia senantiasa ingin hidup dengan sesamanya dalam hubungan timbal-balik yang bersifat sukarela dan bebas melalui kegiatan berserikat, berkumpul, dan berpolitik dalam rangka mencapai tujuan masing-masing (Baechler, 2001).
Dengan bentuk masyarakat yang demokratis pula, kita dapat menyalurkan perasaan terkait keadilan serta kehidupan yang berkesadaran penuh pada level individu. Ini berbeda, misalnya, dengan model otoritarianisme yang mengedepankan penyeragaman bahkan hingga sampai tataran pikiran tidak sadar tiap orang.