Lihat ke Halaman Asli

Initiatif Continuous Improvement, Ritual atau Menghasilkan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernakah anda melihat di televise bagaiaman bangsa Indian melakukan tarian minta hujan? mereka menari bersama mengeliingi api unggun, merapal mantera dan berharap sesuatu yang ajaib akan datang.

Apakah perusahaan anda pernah melakukan inisiatif Perbaikan Berkelanjutan?

Puaskah anda dengan hasilnya?

Sebuah perusahaan, sebut saja A, bergerak di bidang perakitan elektronik yang telah dua tahun ini menerapkan kegiatan perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetitifnya. Dan hasil yang didapat selama dua tahun itu adalah: 50 proyek Perbaikan Berkelanjutan telah dijalankan, dengan melibatkan hamper 80% pegawai, sementara Return On Investment sudah mulai dapat dirasakan dalam empat tahun mendatang

Serupa dengan perusahaan B yang bergerak di bidang automotif juga melaporkan setelah empat tahun pelaksanaan kegiatan perbaikan berkelanjutan hasilnya adalah: Peningkatan moral karyawan 50%, 40% karyawan aktif dalam kegiatan Perbaikan Berkelanjutan, komitmen dari manajemen puncak masih tinggi sehingga mereka akan tetap mendukung kegiatan ini sampai kapanpun.

Benarkah ini yang anda harapkan setelah mengeluarkan banyak sumber daya baik dari waktu, pelatihan terhadap karyawan, dan insentif tambahan?

Apakah kedua perusahaan tersebut melaporkan bahwa ada sesuatu hasil yang mendasar dari investasi kegiatan Perbaikan Berkelanjutan? – jawabannnya adalah tidak.

Di dunia yang super kompetitif sekarang ini, hampir semua manajer frustasi menoba segala macam resep program peningkatan kinerja, sebut saja: TQM, Lean, Six Sigma, TRIZ, TOC, dan metode atau system lainnya yang mereka dapatkan dari berbagai buku-buku best-seller. Hasilnya masih jauh dari harapan. Sebuah survey mengatakan, dari 300 perusahaan, 76%-nya melaporkan bahwa mereka menerapkan program kegiatan berkelanjutan, namun 63% gagal meningkatkan kualitas produknya sebesar 10%. Survey tersebut mengatakan bahwa kegiatan atau program perbaikan berkelanjutan masih dipandang sebagai seremoni atau ritual tarian hujan ala bangsa Indian, dimana terlihat bagus, terdengar bagus, dan membuat semua orang merasa bahwa mereka terlibat dan berkontribusi, namun pada hasilnya tidak memberikan hasil yang maksimal atau tidak ada sama sekali. Mereka berdasar pada asumsi yang keliru bahwa berbuat sesuatu yang terlihat “bagus” akan memberikan dampak yang “bagus” juga….suatu hari nanti!

Ada lima alas ankenapa pendekatan ritual tarian hujan ini tidak akan efektif dijalankan belakangan ini:

1.Ini adalah sebuah proses yang teramat sangat panjang!

Seluruh inisiatif perbaikan ditentukan dengan target jangka panjang, mereka melatih karyawannya dengan metode, system, dan alat yang canggih namun tidak berguna , menerapkan metode pengukuran baru, dan membuat program-program untuk meningkatkan keawasan karyawan – namun lupa untuk menghubungkan semua aktivitas di atas dengan hasil.

2.Ini adalah super mega project

Konsultan dengan tariff tinggi dipekerjakan untuk menyusun dan menerapkan sebuah system perbaikan.Konsultan mengatakan bahwa ini aalah project dengan skala luas, yang membutuhkan beberapa fase untuk penerapannya, pada ujungnya perusahaan diminta investasi di depan untuk menyiapkan pondasi yang kokoh untuk system ini.

3.Kuantitas lebih penting daripada Kualitas

Melibatkan semua karyawan aktif terhadap kegiatan ini, sepertinya merupakan sebuah filosofi yang baik buat semua, namun apabila kita tidak berhati-hati, inisiatif tersebut mirip dengan anda membeli 10 macam obat demam dan anda minum sekaligus untuk meredakan flu anda saat ini. Itu akan mengakibatkan overlap dan kebingungan.

4.Menyalahkan Budaya Kerja yang Sudah Menahun

“Ini tidak semudah membalikkan telapak tangan!“, “Ini bukan kegiatan sehari semalam!”, “Kita sedang merubah budaya kerja yang telah hidup selama 20 tahun, dan kamu mengharapkan hal itu berubah dalam dua tahun?”

Mungkin anda pernah mendengar seorang Operation Manager mengatakan hal yang demikian setelah mengetahui bahwa kegiatan ataupun program perbaikan yang dia terapkan berdampak tidak signifikan terhadap hasil yang mendasar. Pada kenyataannya, dia tidak sendiri dengan keyakinan ini, banyak manajer percaya bahwa suatu hari nanti semua investasi yang dikeluarkan untuk kegiatan ini akan terbayar setelah budaya sudah menyeluruh

5.Hasilnya adalah sebuah ilusi!

Keyakinan bahwa aktivitas yang baik akan otomatis mengasilkan sesuatu yang baik pula memberikan pesan yang bisa jadi keliru. Untuk menggantikan hasil yang mendasar sebagai parameter utama, mereka mengganti dengan hasil yang dihitung bersarkan aktivitas seperti, prosentase keterlibatan karyawan, karyawan yang sudah dilatih, dan lainnya, yang mana kedua parameter tersebut adalah dua hal yang berbeda jauh.

Direct-Impact Driven Transformation

Berbeda dengan kegiatan berdasarkan pada aktivitas, direct-impact memangkas segala persiapan ritual dan mendapatkan hasil yang terukur dalam beberapa bulan. Pendekatan ini dapat menentukan perbaikan apa yang diperlukan untuk meningkatkan seluruh rantai nilai (value chain) dari organisasi.Pendektan ini secara sistematis mengidentiikasi dan mengejar tujuan jangka pendek dan menengah sementara juga tetap menjaga tujuan-tujuan jangka panjang. Pengalaman dari sebuah pabrik pembuatan medical glass di cikarang menyebutkan keuntungan dari pendekatan ini, yaitu:

1.Langsung menuju hasil yang mendasar. Pendekatan ini membutuhkan proses identifikasi, seleksi, dan prioritas proyek perbaikan mana yang layak untuk dijalankan beserta targetnya.

2.Melepaskan biaya-biaya yang selama ini terperangkap dalam bentuk cacat produksi dan rendahnya produktiitas. Semua proyek perbaikan dapat langsung dihubungkan dengan statemen keuangan organisasi.

3.Tidak ada motivasi yang paling tinggi selain keberhasilan yang terus menerus! Proyek yang dapat dengan segera terlihat hasilnya akan membangun kepercayaan diri dan membuat seluruh karyawan merasa nyaman daripada melaksanakan sebuah mega proyek yang membutuhkan waktu lama tanpa tahu kejelasan keuntungan yang akan didapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline