Kita sering mendengar ungkapan "jadilah dirimu sendiri", tetapi benarkah kita benar-benar memahami arti di balik kata-kata itu? Dalam perjalanan hidup kita, kadang kita merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah kotak, terkurung oleh norma dan ekspektasi sosial yang membatasi ekspresi diri kita. Namun, ada satu fenomena yang menarik perhatian saya belakangan ini: cosplay, suatu bentuk seni peran di mana seseorang menghidupkan karakter dari karya fiksi seperti anime, manga, game, film, atau serial TV melalui kostum dan penampilan yang menyerupai karakter tersebut.
Cosplay berasal dari gabungan kata "costume play" yang merujuk pada aktivitas mengenakan kostum dan bertingkah layaknya karakter yang diperankan. Budaya ini berkembang pesat di Jepang sejak tahun 1970-an dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, cosplay diperkirakan mulai dikenal sekitar tahun 1990-an. Semakin meluas setelah Diadakannya Gelar Jepang oleh Universitas Indonesia pada awal tahun 2000-an yang menghadirkan kegiatan cosplay. Meski pada awalnya peminat cosplay di Indonesia masih sedikit, kegiatan ini terus berkembang dan semakin banyak digemari, terutama oleh kalangan remaja penggemar budaya populer Jepang.
Dalam praktiknya, cosplay tidak hanya melibatkan kostum dan make-up, tetapi juga mempelajari gaya bicara, gerakan, dan kepribadian karakter yang diperankan. Melalui cosplay, para penggemar dapat mewujudkan imajinasi mereka dan menghidupkan karakter favorit yang selama ini hanya mereka lihat di layar kaca atau halaman komik. Namun, lebih dari sekedar hobi, cosplay juga menjadi media berekspresi bagi banyak orang, terutama generasi muda.
Mengawali petualangan saya dalam memahami dunia cosplay, saya bertemu dengan Ren, seorang mahasiswa yang menemukan kembali kepercayaan dirinya melalui hobi ini. Semasa SMA, Ren dikenal sebagai pribadi yang introvert dan kesulitan dalam bersosialisasi. Namun, sejak terjun ke dunia cosplay setelah memulai perkuliahan, ia merasakan perubahan signifikan dalam dirinya. Ren menjadi lebih peduli terhadap diri sendiri, meningkatkan kemampuan bersosialisasi, dan menemukan kembali rasa percaya diri dalam mengekspresikan dirinya di ruang publik.
Kisah serupa datang dari Lyona, mahasiswa Sastra Jepang yang mengakui dirinya sebagai seorang introvert. Meski minatnya pada cosplay sudah muncul sejak SMP, ia baru benar-benar mendalaminya saat SMA. Bagi Lyona, cosplay menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan membangun kepercayaan diri. Ia juga mendapatkan keterampilan baru, seperti makeup, dan mengalami momen-momen berkesan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.
Sementara itu, Merkur, seorang mahasiswa Hubungan Internasional, menemukan bahwa cosplay tidak hanya menjadi wadah ekspresi diri baginya, tetapi juga sarana untuk berbagi pengetahuan. Dengan kesukaannya pada karakter militer, Merkur merasa mampu menghidupkan karakter-karakter tersebut dan berbagi wawasan seputar sejarah dan kemiliteran kepada orang lain. Keterlibatannya dalam komunitas cosplay juga membuatnya menjadi pribadi yang lebih terbuka, toleran, dan memiliki jaringan sosial yang luas.
Leovinc, yang juga merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, memiliki pengalaman yang sedikit berbeda. Meski awalnya hanya mencoba cosplay atas ajakan teman, ia akhirnya menemukan hobi ini sebagai cara untuk mengatasi kesepian dan membangun koneksi yang lebih mendalam dengan orang-orang yang memiliki minat serupa. Cosplay membuka pintu baginya untuk memperluas lingkaran sosial, menjadi lebih terbuka dalam berkomunikasi, dan memperluas wawasannya.
Melalui kisah-kisah ini, saya menemukan bahwa cosplay bukanlah sekadar hobi biasa. Ia merupakan sebuah media ekspresi diri yang memungkinkan individu untuk menemukan dan mengeksplorasi sisi lain dari diri mereka yang mungkin sebelumnya terpendam. Bagi sebagian orang, cosplay menjadi jembatan untuk meningkatkan kepercayaan diri, memperluas jaringan sosial, dan mengembangkan keterampilan baru.
Namun, perjalanan menemukan diri melalui cosplay tidak selalu mulus. Lyona, misalnya, mengakui bahwa ia menjadi lebih boros dalam pengelolaan keuangan karena kebutuhan untuk membeli atau menyewa kostum. Tantangan seperti ini merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan pembelajaran dalam mengekspresikan diri melalui hobi yang unik ini.
Saya melihat bahwa cosplay tidak hanya sekedar menghidupkan karakter fiktif dari dunia fantasi. Ia merupakan sebuah perjalanan untuk menemukan diri sendiri, merangkul keunikan kita, dan mengekspresikan sisi-sisi yang mungkin selama ini terkubur di balik topeng sosial yang kita kenakan. Melalui cosplay, kita dapat melepaskan belenggu norma dan ekspektasi yang membatasi kita, dan menjadi diri kita yang paling otentik.
Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan diri mereka. Bagi sebagian, mungkin melalui seni, olahraga, atau kegiatan lainnya. Namun, bagi mereka yang menemukan jalan melalui cosplay, saya menaruh rasa hormat yang mendalam. Mereka telah membuktikan bahwa dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri, kita dapat menemukan kekuatan dalam keunikan kita sendiri.