Lihat ke Halaman Asli

Mempertimbangkan Teater

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Teater adalah miniatur kehidupan dan semua tempat adalah panggung pementasan. Karena ia memvisualisasikan kembali

seluruh fenomena kehidupan

menjadi sebuah pertunjukan. Maka tidak seharusnya ia dicerabut dari akarnya dalam bentuk abstraksi dan lokalisasi

yang sulit dimengerti dan didekati.

Kejadian demi kejadian yang datang silih berganti di masyarakat memiliki bobot yang berbeda-beda. Konsekuensi dari perbedaan bobot tersebut berpengaruh pada diterima atau diabaikannya kejadian. Semakin ringan bobotnya semakin dianggap tidak ada atau diabaikan. Bila semakin berat bobotnya semakin besarlah kekuatan yang diperlukan untuk menerimanya. Kejadian akan menjadi 'persoalan' ketika ia tidak dapat diabaikan, selainnya ia tidak lebih dari 'kejadian biasa'.

Pada tahap penyikapan, 'persoalan' dan 'kejadian biasa' memiliki dimensi subyektif. Tergantung pada tingkat pengetahuan individu dalam menerima kejadian sebagai akibat dari aktivitas sosialnya. Satu kejadian memiliki banyak penafsiran. Satu orang menganggap apa yang terjadi tidaklah penting untuk diperhatikan, satu orang lagi beranggapan sebaliknya.

Revisualisasi kejadian

Berbagai macam cara dipakai orang untuk menyampaikan pandangannya tentang kejadian. Mengacuhkannya adalah bentuk pengabaian yang dilakukan bila ia tidak mau mengambil pusing. Berpikir keras kemudian menunjukkannya kembali kepada orang lain adalah bentuk kepeduliannya atas apa yang terjadi. Implementasi proses berpikir menjadi aksi adalah satu hal mutlak ketika pesan yang hendak disampaikannya dirasa penting dan tidak bisa diabaikan. Baginya, orang mengabaikan karena belum mengerti adanya 'persoalan' yang menyelinap dibalik 'kejadian biasa'.

Salah satu cara yang dinilai ampuh dan dibicarakan disini adalah teater. Berteater berarti berupaya memvisualisasikan kembali apa yang terjadi kemudian menawarkan sebuah pilihan bahwa sesuatu itu harus diabaikan atau tidak. Teater menampilkan kejadian dengan seutuhnya kejadian. Melalui gerak, kata, suara, bahkan 'diam' yang mewakili keriuhan. Ia menampilkan kejadian sesuai apa yang terjadi terlepas dari apakah ia 'persoalan' atau 'kejadian biasa'.

Abstraksi

Teater tidak lepas dari apa yang kita sebut subyektifitas. Pandangan pribadi yang diketengahkan kepada publik dengan penelaahan obyektif, yaitu dengan analisis mendalam atas kasus yang terjadi, sekilas akan tampak seperti ada pemaksaan pandangan.

Publik digiring untuk menyepakati pesan yang disampaikan melalui aksi teatrikal. Pesan yang disampaikan cenderung subyektif karena terlalu banyak simbolisasi. Akibatnya pesan yang dibawa menjadi abstrak (abstraksi makna). Pesan yang mengalami abstraksi akan kehilangan peminat. Ketika pesan menghilang, teater menjadi sia-sia.

Misalnya simbolisasi rakyat yang menderita akibat terusir dari tanahnya lalu mengartikannya bahwa rakyat belum merdeka dari penjajahan, yaitu mengikat tubuhnya yang dilumuri kapur atau oli dengan kawat berduri mungkin benar. Tetapi ketika publik (luar) menikmatinya, pesan atau makna akan berhenti pada batas seni estetik yang bukan untuk menggigit tetapi menghibur. Kenyataan yang ditampilkan (revisualisasi) melalui teater menjadi tidak nyata. Teater berupaya mengeluarkan kenyataan dari kenyataan.

Lokalisasi

Berburu inti sesuatu yang menarik pada manusia kemudian meramunya ke dalam kemasan yang lain (abstraksi) atau sama dengan aslinya menjadi rutinitas berteater, namun tidak semua orang memiliki waktu untuk melakukannya. Itu sebabnya dapat dimaklumi ketika hanya sedikit orang yang berteater, dengan kata lain berteater adalah kebiasaan (budaya) minoritas. Keadaan ini membuat para pelaku teater memiliki ruang gerak yang sangat luas untuk meramu hasil buruannya, sebuah hak istimewa dalam menuangkan inti sesuatu itu ke dalam kemasan yang dikehendakinya.

Segala hal yang berhubungan dengan minoritas mudah goyah dan hilang. Gempuran kekuasaan, godaan, halangan dan lemahnya daya tolak akan mudah menyapu mereka. Keberadaan minoritas - sebagai pengingat mayoritas yang lupa -  terancam punah.  Berpikir realistis, kemudian meninggalkan teater menjadi alasan mujarab untuk berkilah ketika idealisme bisa dilupakan sejenak atau selamanya. Idealisme dipersalahkan karena membuatnya kesulitan melihat kenyataan.

Untuk mengatasi kekhawatiran akan hilangnya kebiasaan/budaya minoritas adalah dengan menyatukannya dalam satu wadah yang menampung semua gerak minor menjadi submayoritas dari mayoritas yang sibuk. Wadah didirikan sebagai lembaga penggerak dan penguat kebiasaan/budaya yang rapuh. Keberadaannya menjadi panggung pementasan yang berombak dan berbuih. Ombaknya adalah calon-calon pelaku teater masa depan, kritikus, penikmat dan lain-lain. Buihnya adalah kegamangan melepas subyektifitas.

Eksekusi

Ketika kejadian dipergunakan sebagai lahan untuk mengeksplorasi diri, setiap orang diperbolehkan untuk menafsirkannya sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Kejadian, selain memiliki ukuran subyektif juga memiliki ukuran obyektif  yang berarti bahwa penafsiran personal/pribadi tidaklah kuat jika tidak memiliki penafsiran universal/umum.

Penafsiran di dunia perteateran adalah wajah kejadian yang disikapinya. Ia menentukan tampilan dan isi dalam aksi teatrikal. Teater juga adalah alat menyampaikan penafsirannya kepada khalayak yang lebih luas maka penafsiran secara universal/umum akan menghindarkannya dari abstraksi yang sulit dimengerti oleh masyarakat.

Ketika pembunuhan kepala desa, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), pemukulan guru pada muridnya, penggusuran warga, gaya hidup, perselingkuhan, iptek, kelestarian alam, kerusakan sumber daya alam, lumpur Lapindo, utang-piutang, pencurian, kebakaran, pembangunan mall dan rumah-rumah mewah, demo buruh, kasus Durin Tonggal, nelayan di Pantai Labu, konflik petani di  Secanggang dan jutaan kasus tanah rakyat yang dirampas penguasa dan pengusaha menjadi bagian yang didiskusikan, diprihatinkan, menjadi inspirasi dalam penciptaan karya, menjadi ilham yang menguatkan ketika mentas, maka dalam revisualisasinya tidaklah tepat jika dikhususkan tempatnya (dilokalisasi) yang hanya berakibat pada makin 'khusus' pula peminatnya.

Teater mampu menjadikan setiap gang-gang, lorong, lapangan, halaman rumah masyarakat, dan perempatan jalan sebagai tempat pementasan. Peminat teater tidak perlu jauh-jauh mencari panggung pementasan khusus karena panggung tersebut berada di depan rumahnya. Dengan ini kita dapat mempertimbangkan sebuah masyarakat teater yang terus berpikir (cogito ergo sum[1]), menyatakan dan menyikapi semua kejadian.

[1] Descrates; Saya berpikir maka saya ada




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline