Lihat ke Halaman Asli

Politik Gabah vs Gabah Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Politik Gabah vs Gabah Politik

Oleh : M. Bahtiar Arifin[1]

Permasalahan perberasan nasional memang kompleks. Setelah berhasil mencapai swasembada lagi pada tahun 1984, 2004 dan 2008[2] lalu tampaknya tantangan baru ada di depan mata. Bencana alam dan gangguan iklim menyebabkan harga komoditas pangan dunia termasuk beras pun naik. Bahkan, kenaikan harga beras pada bulan kemarin merupakan yang tertinggi sejak krisis pangan 2006 yakni sebesar 25 persen. Kenaikan ini bahkan menjadi pendorong utama kenaikan inflasi pada November 2010 yang mencapai 6,3 persen[3].Pada bulan ini pemerintah telah mengimpor sekitar 500.000 ton beras guna mencukupi stok cadangan pangan[4] serta untuk menurunkan harga beras sampai di bawah Rp. 6.000,-[5]. Di lain pihak petani saat ini sedang memasuki musim tanam padi dan diperkirakan kekurangan stok beras di pasaran akan cukup lama terjadi. Beberapa kalangan pun berpendapat impor beras ini akan menjadikan petani semakin sengsara[6].

Dilema Kepemilikan Lahan

Kepemilikan lahan petani yang semakin sempit menjadikan luas tanam padi terbatas[7]. Produksi beras belum mencukupi[8] jika dibandingkan kebutuhan pangan akibat tekanan penduduk yang semakin tinggi. Fenomena sistem waris ‘pecah-bagi’ lahan pertanian diduga menjadi faktor penyebab terjadinya marjinalisasi kepemilikan lahan. Lahan pertanian diwariskan dengan terlebih dahulu dipecah berdasarkan ahli waris kemudian baru dibagikan sesuai dengan bagian masing-masing. Dengan demikian dari generasi ke generasi lahan pertanian yang dimiliki oleh rumah tangga petani akan semakin sempit. Pendapatan mereka pun berkaitan erat dengan pola penguasaan lahan ini. Mereka yang memiliki lahan lebih dari 1 (satu) hektar memperoleh pendapatan dari sektor pertanian yang mencapai 52-79% dari total pendapatan rumah tangga sedangkan yang hanya memiliki lahan seluas 0,1-0,25 hektar maka hanya 24-29% pendapatan yang disumbang dari sektor pertanian (on farm dan off farm)[9] sedangkan sisanya berasal dari kegiatan jasa, perdagangan, transportasi dan sebagainya (non-farm)[10]. Semakin sempit lahan pertanian yang dimiliki, semakin kecil pula ketergantungan mereka kepada hasil pertanian.

Kondisi petani berlahan sempit ini banyak ditemukan di wilayah kerja saya yang notabene berada di pinggiran sebuah kota kecil[11]. Bahkan ada beberapa rumah tangga petani yang hanya memiliki lahan seluas 0,04 hektar saja. Meskipun pendapatan dari pertanian tidak seberapa banyak[12] tetapi mereka tetap mempertahankan lahan tersebut padahal tawaran untuk menjualnya datang berkali-kali. Alasan mereka cukup sederhana. Jika dibandingkan dengan tetangga mereka yang menggantungkan diri di sektor jasa seperti tukang becak dan tukang batu, maka kondisi mereka terbilang cukup. Pendapatan dari uang tunai memang tidak seberapa tetapi mereka memiliki stok gabah yang cukup untuk konsumsi keluarga.Pada saat terjadi kenaikan harga beras seperti saat ini mereka masih memiliki stok gabah yang sewaktu-waktu bisa mereka olah menjadi beras. Mereka bisa melakukan ‘politik tunda-jual’ untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Kalau petani berlahan luas menyerahkan sepenuhnya urusan pasca panen kepada pedagang beras dan ‘pabrikan’ penggilingan padi, maka lain halnya dengan petani jenis satu ini. Mereka mengeringkan sendiri gabah hasil panen sampai kondisi layak simpan. Saat mereka membutuhkan beras untuk kebutuhan sehari-hari, maka tinggal menunggu ledok (huller) datang. Ledok merupakan sebutan bagi mesin penggilingan keliling dan berbeda dengan penggilingan ‘pabrikan’ yang bersifat stationery (menetap) dan tidak bisa mobile[13].

Keberadaan ledok ini sekarang menjamur di berbagai daerah dan menunjukkan sebuah fenomena sosial.Dengan teknologi ini petani lebih bersifat fleksibel dalam mengubah gabah menjadi beras. Baik untuk kebutuhan rumah tangga sendiri, keperluan hajatan keluarga maupun dijual guna ditukar dengan uang tunai. Aktivitas tunda jual pun bisa dilakukan dengan cara ini. Daya tawar petani sebagai produsen gabah pun lambat laun meningkat. Pola pembelian tebasan pun berkurang meskipun pada kondisi tertentu masih terjadi. Meskipun demikian hal ini perlu diapresiasi di tengah kondisi keterpurukan petani yang dianggap memiliki kekuatan tawar yang rendah sebagai produsen (powerless) dalam istilah Porter’s Five Forces Model. Semakin banyak jumlah pemasok maka akan semakin lemah pula posisi tawarnya. Kekuatan gabah sebagai komoditas bernilai strategis mulai dipahami dan digunakan petani sebagai alat ‘diplomasi’. Di Bantul, misalnya, petani memanfaatkan komoditas gabahnya untuk jaminan pinjam uang ke perbankan (Kompas, 17/2/2010)[14]. Selain karena faktor iklim yang tidak menentu, penyerapan gabah oleh Bulog yang tidak bisa berjalan secara maksimal juga disebabkan karena harga jual di tingkat petani lebih tinggi dibandingkan dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)[15].

Tidak mengherankan jika kita cermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Sadikin & Subagyono pada tahun 2009 lalu. Indikator kesejahteraan petani yang paling menggembirakan adalah jika ia didefinisikan sebagai indeks ketahanan pangan di tingkat rumah tangga petani (TKP). TKP merupakan rasio total hasil produksi usahatani selama setahun dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga dalam jangka waktu yang sama. Dalam penelitian tersebut nilai TKP petani berlahan luas berkisar 2,60-2,59 yang berarti hasil produksi usahataninya bersifat surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Namun nilai TKP masih rendah untuk kategori rumah tangga petani berlahan sempit. Artinya, mendekati kondisi rawan pangan[16]. Dalam konteks inilah kepemilikan lahan menjadi sebuah dilema baik dalam kemampuan produksi gabah maupun dalam ketahanan pangan rumah tangga petani.

Penguatan Kelembagaan

Secara nasional asupan energi dan protein rumah tangga petani sudah memenuhi standar minimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004[17]. Walaupun demikian pada kelompok berpendapatan rendah konsumsinya masih di bawah standar kecukupan. Kelompok ini bersama dengan mereka yang tidak memiliki akses terhadap lahan serta yang bergerak di sektor informal kemudian menjadi sasaran program beras miskin (raskin)[18]. Mereka tergolong sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap perubahan baik dari gejolak ekonomi makro maupun akibat perubahan iklim yang ekstrim. Pilihan impor memang tidak terhindarkan meskipun pengendalian waktu[19] dan wilayah operasi pasar beras ini perlu dilakukan. Dalam kacamata teoritik intervensi pasar yang dilakukan pemerintah pada hakikatnya disebabkan karena fenomena kegagalan pasar (market failure). Menurut Yustika (2010) kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi, desain aturan main, norma para pelaku, adanya pilihan atas kepemilikan asset dan sebagainya. Dengan demikian diperlukan kelembagaan non-pasar (non-market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung yaitu dengan mendesain aturan main / kelembagaan (institutions)[20]. Dengan demikian selain dibutuhkan perubahan patokan HPP yang dinilai cenderung menguntungkan pedagang dan perum Bulog, juga diperlukan kebijakan yang mampu memperkuat tegaknya kelembagaan sebagaimana uraian di atas.

Kelompok tani merupakan perkumpulan yang di dalamnya meliputi para petani berlahan luas, berlahan sedang hingga sangat sempit, penggarap sawah serta kadang juga diikuti oleh buruh tani dan pemilik sawah. Pada mulanya kelompok tani digunakan untuk mempermudah pemerintah dalam mengendalikan dan mengevaluasi program dan bantuan[21]. Namun keberadaan kelompok tani kini diharapkan mampu mengembangkan teknologi pertanian yang bersifat spesifik lokasi, mengukuhkan aturan main berorganisasi & bertransaksi, memperluas jaringan kemitraan bisnis (network business) serta pada akhirnya meningkatkan daya saing (competitiveness)[22]. Perubahan preferensi masyarakat ke arah beras yang berkualitas[23] merupakan tantangan yang bisa diwujudkan dengan modal sosial yang dimiliki kelompok. Pengelolaan pasca panen bisa difasilitasi oleh kelompok dengan dukungan pedagang serta pembinaan pemerintah. Menurut pengalaman saya di lapangan, pembuatan papan informasi harga gabah di gubug sarasehan milik kelompok ternyata mampu mendongkrak harga jual gabah dalam hamparan. Belum lagi jika dilakukan upaya yang serius untuk memantapkan keberadaan penyuluhan pertanian di daerah-daerah. Secara perlahan namun pasti usaha transformasi ini akan mampu mengeliminasi dilema petani yang ada di tengah tantangan jaman yang semakin kompleks (BA).

[1] Penulis adalah alumni IPB & mahasiswa Magister Agribisnis Program Pascasarjana-UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) & Humas Forum Komunikasi THL-TBPP (Tenaga Harian Lepas - Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) Propinsi Jawa Timur. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan atas nama organisasi.

[2] Kompas. Rabu (15/12/2010). Pemerintah Harus Berani Stop Impor Beras.

[3] Kompas. Jumat (17/12/2010). Waspadai Harga Pangan.

[4] Kompas. Jumat (17/12/2010). Pemerintah Impor 500.000 Ton Beras.

[5] Kompas. Jumat (24/12/2010). Impor Beras Akan Tetap Dipertahankan.

[6] Kompas. Selasa (23/11/2010). Serikat Petani Indonesia memperkirakan bahwa impor beras sebanyak impor 1 juta ton membutuhkan anggaran sebesar anggaran 4 trilyun rupiah & berpotensi menghilangkan kesempatan kerja bagi 430.000 petani.

[7] Republika, Selasa (23/11/2010). Empat Langkah Untuk Tingkatkan Produksi Beras. Pada tahun 2011 Kementan berencana untuk mencetak 70 ha lahan sawah baru untuk mengimbangi laju konversi lahan. Hal ini ditempuh untuk memastikan target produksi beras sebanyak 39 juta ton tercapai. Sedangkan pada Republika (Selasa, 21/9/2010) disebutkan bahwa peningkatan produksi padi pada tahun 2010 tidak terlepas dari fenomena La Nina yang melanda Indonesia sepanjang tahun sehingga pola tanam yang biasanya padi-padi-palawija menjadi padi-padi-padi. Banyak di daerah yang tadinya hanya tanam 2 (dua) kali sekarang 3 (tiga) kali.

[8] Republika, Selasa (21/9/2010). Angka Ramalan II (Aram) Badan Pusat Statistik (BPS) tentang produksi padi nasional menunjukkan optimisme pencapaian swasembada beras tahun 2010. Menurut BPS, pada akhir tahun ini Indonesia akan mengalami kelebihan beras (surplus) mencapai 5,6 juta ton. Namun surplus itu hanya  bisa digunakan untuk kebutuhan 2 (dua) bulan atau periode Januari-Februari 2011. Sementara untuk pencadangan beras Maret-April sambil menunggu panen raya pada bulan April, kata Suswono, pemerintah membuka kemungkinan untuk impor. Sedangkan dalam Kompas (Jumat, 24/12/2010) “Laporan Akhir Tahun : Pertanian di Tengah Ancaman Bencana”. Data BPS menunjukkan bahwa produksi padi tahun ini tumbuh 2,46 persen dibandingkan 2009. Ini berarti 0,74 persen di bawah target 66,68 juta ton gabah kering giling (GKG).

[9] Darwis, V. 2009. Keragaan Penguasaan Lahan sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani. Makalah Seminar Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani". Bogor, 14 Oktober 2009.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline