Jamtiga pagi cerpen ini dibuat. Pasca saya meninggalkan tempat kerja. Masuk rumah lalu lepas celana. Menggantinya dengan kolor warna merah. Dan berangkat menuju WC untuk buang hajat. Tempat dimana ide tentang banyak hal bermuara bagi mayoritas masyarakat (katanya). Maap, bukan soal ide tinjanya tapi soal lain. Menyoal "Mengapa ya saya lama sekali di WC"? Saya pikir-pikir, eh, ternyata soal handphone yang saya pegang. Isinya cerpen Kompasiana (ini serius Pak De redaksi bukan tedeng aling-aling, loh).
Saya buka cerpen di Kompasiana jam tiga pagi? Buat apa coba kalau bukan buat kepoin cerpenis Kompasiana. Apa untungnya? Ya tidak ada, kecuali ngasal kurang kerjaan daripada nonton film seronok. Haram hukumnya indah tubuhnya.
Saya baru sadar ternyata cerpenis Kompasiana ada stratifikasinya. Maksud saya dalam konteks ini adalah penggolongan penulis dalam strata amatir, medium dan profesional. Saya belum ngeh apa fungsinya. Saya juga tidak ambil pusing. Bodo amat deh sama stratifikasi. Hola cerpenis, mari saling mengucap kata-kata "Demi pembebasan nalar, mari saling bercinta."
Ada yang beda. Saya terlalu lama buang hajat juga buang waktu di WC. Saya baca satu cerpen. Eh cerpennya sedih, matanya setengah merem keenakan nangis. Jadi bahan bullying deh. Aktrisnya lompat dari gedung setinggi gunung Rinjani. Dibawah sudah siap menangkap pangeran yang setengah telanjang. Tenang pasti pas tertangkap.
Rokok saya sisa separuh. Saya belum juga cebok. Tenang, tapi sekian menit lalu sudah saya siram kok. Jadi tidak bikin mabuk. Saya masih bisa logis betul, utuh lagi, tak terkontaminasi bau. Ini yang dinamakan guru biologi kita sebagai falsafah hidup.
Hampir setengah jam. Mencari lagi cerpen yang enak dibaca. Ketemu, ketemu, ketemu. Saya buka, baca, lantas senyum. Bukan senyum kecut tapi senyum manis. Dalam hati saya bilang "sudah cukup", ini yang terkahir habis itu minggat dari WC.
Kisahnya saya lupa. Yang pasti agak sedih tapi bagus. Pengen rasanya meluk dari belakang tokohnya. Saya ajak melihat kunang-kunang di taman kota, membeli miras di toko langganan, pengakhiran saya ajak ke restoran seafood termahal se-kecamatan. Pulangnya saya cegatkan bemo. Kemudian, berikutnya saya sadar, "Kalau tokohnya seorang duda beranak sembilan gimana?!" Saya siram lagi. Kurang lebih sebanyak tiga gayung air. Memastikan sungguh.
Beres. Tetangga berisik jam tiga pagi. Sadar tidak suara pintumu itu bikin panik orang yang sedang melakukan proses reflektif untuk ambil kesimpulan sehabis buang hajat. Saya pakai kolor merah tanpa meninggalkan bekas vandalisme cinta anak SMP.
Saya jalan kaki. Tidak naik apa-apa. Karena saya tidak butuh apa-apa untuk dinaiki. Kan, jarak WC cuma sejengkal. Gitu aja kamu repot.
Selang berapa abad saya sampai dirumah. Lama ya? Namanya juga metafora, langit dan bumi bisa nempel kayak sembelit di usus halus.