Lihat ke Halaman Asli

Darius Tri Sutrisno

Penjaga warung kopi samiroto

Senja Itu Sudah Mati

Diperbarui: 20 Juni 2019   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by  Pixabay.com

Sebuah kursi menancap di tepian danau, di kawasan pemukiman penduduk, dikelilingi oleh lebatnya hutan pinus. Jika angin sedang ribut hutan pinus seakan berbisik padamu. Memberi kesan bahwa dirinya begitu hidup.

Bagaimana wujud kursi tak bisa digambarkan dengan kata-kata menawan. Sepanjang tepi danau hanya kursi itu satu-satunya kursi. Penduduk tidak menahu tentang kapan dan siapa yang meletakan kursi itu. Sepengetahuan sesepuh desa, kursi itu sudah ada sebelum ia lahir. Ini isyarat bahwa kursi itu tak berpunya atau berasal.

Danau damai itu diam. Sediam ikan-ikan di dalamnya. Tapi danau itu hebat. Dia hanya diam saja---tidak ribut atau sembarangan memercikan air ke sekelilingnya. Danau itu tak berwarna karena kebeningan sudah menjadi warna dasar yang alamiah. Jadi hanya bening, sampai-sampai orang dapat leluasa memperhatikan makhluk hidup di dalamnya.

Kala memasuki sore hari danau itu berubah warna menjadi merah. Jika pagi hari berlainan, ia menjadi bercahaya jingga. Berbeda di malam hari: mencekam.

Seringkali kursi itu tidak sendiri. Ia bersama seseorang. Seseorang yang membunuh waktunya berdiam diri menatap danau.

Tidak jauh dari danau berdiri satu rumah seorang pria usia lanjut. Usianya tujuh puluh tiga tahun lebih dua bulan. Ia sebatang kara. Rumah pria ini hanya sejauh seratus langka dari kursi. Pria ini adalah seseorang yang setia menduduki kursi. Setiap hari minggu ia duduk memandangi danau yang berubah warna setiap saat.

Matahari mulai menurun perlahan. Siang telah akan pergi. Pria tua itu mengelilingi rumah mencari lilin dan korek api. Berjaga-jaga jika kebetulan ia harus di tepi danau hingga malam. Semua sudah siap tanpa terkecuali roti, air minum serta pena dan selembar kertas. Ia pun menutup pintu dan menguncinya. Dengan badan bungkuk ia berjalan pergi menjauh dari rumah.

Setelah ia menaruh separuh badanya di atas kursi, seperti biasa ia merapikan semua barang bawaan tepat disebelah kanannya: roti, air minum, lilin, korek api serta pena dan selembar kertas. Ia memulai renungannya dalam diam. Memperhatikan sekelilingnya yang sunyi dan memerah. Memotong sedikit roti untuk makan malam. Meminum separuh air minum. Tapi ia kembali larut dalam suasana diam.

Senja itu telah tiba. Membuat pembeda yang begitu kentara bagi pria tua. Ia mengambil penanya, menggegamnya sedemikian kuat. Raut wajahnya berubah seakan bersiap untuk sesuatu, seperti seorang jenderal perang dunia yang siap menembak apa saja yang ada di depannya.

"Aku sudah siap. Tapi tidak untuk meratap di bawah naunganmu. Semua orang mengandaikanmu sebagai yang terindah dari yang lain---hebatnya, tidak bagiku." Pria tua itu berbicara dengan cukup bengis pada keindahan senja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline